Opini oleh: Muslim Arbi- Direktur Gerakan Perubahan dan Ketum TPUA
Rencana aparat kepolisian yang melarang atau mengimbau keras agar peserta aksi tidak melakukan live streaming saat demonstrasi menuai kritik tajam. Pengamat politik Muslim Arbi menilai kebijakan tersebut merupakan bentuk kemunduran dalam demokrasi, karena membatasi hak warga untuk menyampaikan informasi dari ruang publik.
Polda Metro Jaya sebelumnya meminta masyarakat tidak melakukan siaran langsung, terutama melalui platform TikTok, di area demonstrasi sekitar DPR/MPR dan Istana Negara. Polisi beralasan live streaming rawan dimanfaatkan untuk memobilisasi massa secara provokatif, bahkan digunakan untuk meraup keuntungan lewat fitur “gift” dari penonton.
Muslim Arbi menilai alasan tersebut tidak cukup kuat untuk melarang praktik siaran langsung. Menurutnya, justru live streaming merupakan salah satu instrumen transparansi yang sejalan dengan semangat reformasi.
“Demokrasi modern bertumpu pada keterbukaan. Membatasi warga menyiarkan jalannya aksi berarti mengaburkan esensi kebebasan sipil. Yang harus ditindak adalah konten yang jelas-jelas melanggar hukum, bukan membungkam medium penyiarannya,” tegas Muslim Arbi, Kamis (28/8/2025)
Ia menambahkan, kebebasan berkumpul, berekspresi, dan menyampaikan informasi merupakan hak konstitusional yang dilindungi Pasal 28E dan 28F UUD 1945. Karena itu, larangan menyeluruh terhadap live streaming dianggap berlebihan dan tidak sejalan dengan prinsip negara demokrasi.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberikan landasan hukum bagi warga untuk melakukan aksi secara damai. Regulasi ini tidak melarang dokumentasi maupun siaran langsung, sepanjang tidak melanggar ketentuan pidana lain seperti hasutan kekerasan atau ujaran kebencian.
Di sisi lain, aparat sejatinya sudah memiliki instrumen hukum lain, seperti UU ITE maupun KUHP, untuk menindak konten yang mengandung provokasi atau kabar bohong. Dengan demikian, penegakan hukum seharusnya fokus pada konten bermasalah, bukan pada praktik dokumentasi publik itu sendiri.
Penghapusan ruang live streaming dinilai berpotensi menutup transparansi publik. Padahal, siaran langsung dari warga kerap menjadi bukti penting jalannya aksi, termasuk untuk memverifikasi adanya tindakan anarkis atau dugaan represif dari aparat.
“Live streaming justru bisa menjadi mekanisme kontrol sosial. Semua pihak akan berhati-hati ketika tahu tindakannya bisa disaksikan publik secara langsung,” ujar Muslim Arbi.
Selain itu, persoalan monetisasi lewat fitur gift semestinya bisa diatasi dengan pengaturan teknis bersama platform media sosial, bukan dengan larangan total.
Kritik Muslim Arbi memperlihatkan adanya perdebatan serius dalam menjaga keseimbangan antara ketertiban umum dan kebebasan sipil. Ia menegaskan, demokrasi akan melemah bila negara memilih jalan pintas dengan melarang siaran langsung dari ruang publik.
“Negara seharusnya memperkuat mekanisme hukum berbasis konten, bukan melakukan pembungkaman medium,” tutupnya.