JAKARTA (KASTV) – Puluhan aktivis yang tergabung dalam Lembaga Intelektual Demokrasi Indonesia (LIDIK Sultra Jakarta) kembali menggelar aksi lanjutan di depan kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Kamis (6/11/2025). Aksi “Jilid II” ini dilakukan setelah sebelumnya mereka menyambangi Kejaksaan Agung RI untuk mengawal dugaan penyimpangan anggaran hibah Pilkada 2024 pada KPU Kabupaten Konawe Utara (Konut).
Direktur Eksekutif LIDIK Sultra Jakarta, Robby Anggara, menegaskan bahwa penegakan etik merupakan hulu dari penegakan hukum pidana dalam skandal tersebut.
Kasus ini mencuat setelah audit internal Inspektorat Jenderal (Itjen) KPU RI terhadap pengelolaan dana hibah Pilkada 2024 KPU Konut senilai Rp 45 Miliar. Audit itu diduga menemukan kejanggalan pengelolaan anggaran sebesar Rp 1,6 Miliar, yang kini telah naik ke tahap Penyidikan di Kejaksaan Negeri Konawe.
“Tidak mungkin penegakan hukum berjalan efektif jika para terduga pelaku yang merupakan komisioner masih aktif menjabat. Mereka berpotensi merusak barang bukti, mengintervensi proses hukum, dan mempengaruhi saksi,” tegas Robby usai melakukan audiensi dengan pihak DKPP.
Dalam pertemuan tersebut, perwakilan DKPP mengakui adanya keterbatasan kewenangan mereka. DKPP hanya bisa bertindak berdasarkan laporan resmi dan tidak memiliki kemampuan bertindak atas inisiatif sendiri (ex-officio), meskipun kasus telah menjadi perhatian publik.
Meski demikian, DKPP secara resmi menerima berkas laporan dan Permohonan Penindakan Etik dari LIDIK Sultra Jakarta terkait seluruh Komisioner KPU Konut. DKPP meminta agar berkas dilengkapi dengan dua alat bukti permulaan agar dapat diproses dalam sidang etik.
“Surat Tanda Terima Laporan sudah kami kantongi. Sekarang kami fokus melengkapi bukti permulaan. Tapi mari kita jujur: bukti itu ada di KPU RI sendiri. Hasil audit Itjen mereka yang memegang kunci,” ujar Robby.
Menurutnya, jika KPU RI menolak membuka hasil audit tersebut dan tidak merekomendasikan penindakan etik, maka itu menjadi bukti nyata bahwa KPU RI kembali menunjukkan arogansi kelembagaan terhadap DKPP.
“Ini bukan hal baru. Kita pernah melihat preseden buruk konflik kelembagaan KPU dan DKPP pada kasus Evi Novida tahun 2020. Polanya kembali berulang,” tegasnya.
Robby juga menegaskan bahwa dugaan keterlibatan dalam kasus ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh oknum individu.
“Struktur kepemimpinan KPU adalah kolektif-kolegial. Tidak mungkin penyimpangan Rp 1,6 Miliar terjadi tanpa pengetahuan, persetujuan, atau pembiaran oleh seluruh komisioner melalui rapat pleno. Pola ini sudah berulang di banyak kasus KPU Daerah lain,” jelasnya.
LIDIK Sultra Jakarta menyatakan tidak akan mundur dalam mengawal kasus ini.
“Jika KPU RI dan Bawaslu tetap ‘menutup mata’, maka kami akan mengambil langkah strategis berikutnya: melaporkan KPU RI dan Bawaslu ke DKPP atas dugaan kelalaian etik institusional. Biarkan DKPP mengadili para penjaga gerbang demokrasi yang lalai itu,” tutup Robby.
