Aceh Singkil, KASTV — Menyikapi aksi massa Gerakan Persada Karina (GPK) di kantor PT Socfindo Lae Butar, Manager Kebun Lae Butar, Erik Barus, memberikan penjelasan kepada media di ruang kerjanya pada Kamis (20/11) sekitar pukul 18.00 WIB.
Dalam keterangannya, Erik memaparkan bahwa PT Socfindo Kebun Lae Butar telah hadir di tengah masyarakat sejak tahun 1938 dan terus berkontribusi positif bagi warga sekitar, terutama lewat penyediaan lapangan pekerjaan dan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
“Perusahaan selalu berupaya memberikan manfaat bagi masyarakat, baik secara individu maupun kelompok. Contohnya, beberapa waktu lalu kami menyalurkan bantuan alat semprot racun kepada 18 kelompok tani kemitraan untuk meningkatkan kualitas produksi pertanian mereka,” ujar Erik.
Selain itu, PT Socfindo juga menunjukkan kepedulian terhadap rumah ibadah, pendidikan, serta kaum duafa sebagai wujud komitmen sosial perusahaan.
Terkait Tuntutan Aksi Massa
Menanggapi tuntutan GPK mengenai penumpukan hasil produksi di tepi jalan dan dugaan kecelakaan yang dikaitkan dengan aktivitas pengangkutan sawit, Erik memastikan bahwa pihaknya telah menangani persoalan tersebut.
“Proses pengangkutan sudah sesuai prosedur. Mengenai kecelakaan, kami sudah mengurusnya dan pengajuan terkait janji mempekerjakan keluarga korban juga telah diusulkan. Namun proses itu membutuhkan persetujuan pimpinan sehingga tidak bisa instan,” jelasnya.
Terkait desakan untuk menumbang dan membersihkan pohon sawit sepanjang 3,95 kilometer di jalur Tulaan–Silulusan, Erik menyebut tuntutan itu tidak berdasar. Menurutnya, jarak tanaman ke badan jalan sekitar dua meter sudah memadai, terlebih jalan tersebut telah dilebarkan dari lima menjadi delapan meter.
“Esensinya, jalan itu adalah jalan kebun yang kemudian dilepas menjadi jalan umum dan kini berstatus jalan kabupaten,” tegas Erik.
Soal Pembukaan Akses Jalan Baru
GPK juga meminta perusahaan membuka akses jalan baru khusus perusahaan. Namun Erik menilai tuntutan itu kurang bijak.
“Jalan umum saat ini justru berasal dari pelepasan lahan HGU oleh perusahaan. Kami sendiri yang menginisiasi pelepasan jalan selebar delapan meter demi kelancaran mobilitas masyarakat, terutama untuk pengangkutan hasil pertanian mereka. Lalu mengapa harus membuka jalan baru lagi?” ujarnya.
Isu Pelepasan Lahan dan Tenaga Kerja Lokal
Mengenai tuntutan pelepasan sebagian lahan HGU untuk fasilitas olahraga dan TPU minimal dua hektare per desa, Erik menjelaskan bahwa proses administratifnya tidak sederhana dan memerlukan waktu panjang. Ia menyebut pengukuran oleh panitia A dan B sudah rampung dan hasilnya telah sampai ke pusat.
Sementara itu, terkait serapan tenaga kerja lokal, Erik memastikan bahwa 90 persen pekerja di PT Socfindo Kebun Lae Butar adalah warga sekitar Aceh Singkil.
“Setiap tahun kami umumkan secara terbuka jika ada penerimaan karyawan. Namun tentu saja ada mekanisme yang harus dipenuhi seperti tes kemampuan, tes kesehatan, serta kebutuhan perusahaan,” kata Erik.
Pertanyaannya: Kenapa Harus Unjuk Rasa?
Erik mengungkapkan bahwa pertemuan antara pihak perusahaan, Polres Aceh Singkil, dan koordinator aksi sebenarnya sudah pernah dilakukan untuk membahas seluruh tuntutan GPK. Namun, ia mempertanyakan alasan aksi unjuk rasa tetap digelar di area pasar yang berpotensi mengganggu ketertiban umum dan arus lalu lintas.
“Semua tuntutan sudah kami jawab secara jelas dalam pertemuan sebelumnya. Lantas mengapa masih harus turun ke jalan, apalagi di tempat umum yang bisa mengganggu masyarakat dan merusak iklim investasi di Aceh Singkil yang kita cintai ini?” tutup Erik. (PT)