Cirebon — Dugaan adanya rekayasa dalam penerbitan Surat Hak Pengelolaan (SHP) baru milik PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk mulai menyeruak ke publik. Isu ini mencuat setelah kesaksian seorang tokoh desa, H. Mustani, yang mengungkap adanya pertemuan antara pejabat kecamatan dan pihak perusahaan dengan sejumlah perangkat desa di wilayah Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon.
Dalam keterangan yang disampaikan pada 10 Oktober 2025 malam di kediaman Anwar, Mustani menuturkan bahwa Camat Gempol, Sri Darmanto, bersama perwakilan PT Indocement mendatangi rumah Subhan Nurakhir, Kuwu Desa Palimanan Barat. Dalam pertemuan itu, Subhan diminta menandatangani surat berjudul “Peningkatan Produksi dan Amdal” dengan alasan seluruh desa binaan lainnya telah menyetujui. Tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai implikasi hukum, Subhan menandatangani dokumen tersebut karena mengira surat itu hanya bersifat administratif.
Belakangan, Subhan marah setelah mengetahui bahwa tanda tangan dan stempel yang ia bubuhkan justru digunakan sebagai dasar penerbitan SHP baru bagi PT Indocement. Menurut pengakuan Mustani, Sri Darmanto kemudian menghubungi Subhan dan memintanya datang seorang diri ke sebuah rumah makan di Telaga Remis. Permintaan agar hadir tanpa pendamping menimbulkan kecurigaan adanya upaya tekanan atau pengondisian.
“Pak Kuwu merasa curiga, makanya saya ikut supaya ada saksi,” ujar Mustani. Ia menduga kuat bahwa dokumen SHP baru tersebut bersumber dari surat “Peningkatan Produksi dan Amdal” yang telah dimanipulasi tanpa sepengetahuan perangkat desa.
Secara hukum, penerbitan SHP wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, PP Nomor 18 Tahun 2021, serta peraturan ATR/BPN. Bila dokumen persetujuan diperoleh dengan cara menyesatkan atau tanpa penjelasan mengenai fungsi hukumnya, maka SHP yang terbit dapat dianggap cacat hukum dan berpotensi dibatalkan.
Keterlibatan seorang camat dalam proses seperti ini juga menimbulkan persoalan etik dan hukum. Sebagai aparatur sipil negara, camat tunduk pada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS. Segala bentuk penyalahgunaan wewenang atau keberpihakan terhadap kepentingan korporasi dapat berujung pada sanksi etik hingga pidana.
Pimpinan Redaksi Sahabat Bhayangkara Indonesia (SBI), Agung, mengecam keras dugaan praktik tersebut. Ia mendesak aparat penegak hukum dan instansi terkait segera turun tangan untuk mengusut tuntas dugaan rekayasa dokumen yang merugikan masyarakat dan pemerintah desa.
“Kasus ini harus menjadi pelajaran agar tata kelola pertanahan tidak diserahkan pada praktik manipulatif yang merusak kepercayaan publik terhadap pejabat negara,” tegas Agung.