Bandar Lampung, KASTV — Dugaan diskriminasi pelayanan terhadap pasien BPJS Kesehatan kembali mengguncang RSUD Abdul Moeloek (RSUDAM), rumah sakit rujukan terbesar di Provinsi Lampung. Seorang pasien mengaku harus menunggu hingga berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan tindakan medis, sementara pasien umum disebut langsung ditangani tanpa hambatan.
“Pasien umum itu cepat ditindak. Tapi kalau BPJS, bisa 1 sampai 3 bulan menunggu,” ujar seorang pasien dengan nada kecewa, Sabtu (22/11/2025).
Pernyataan ini memunculkan gelombang kritik terhadap manajemen RSUDAM.
Sorotan PPWI: Pelayanan Tidak Manusiawi
Ketua DPD PPWI Lampung, Husin Muchtar, menilai dugaan penelantaran pasien BPJS ini sebagai bentuk kelalaian serius dan meminta pihak rumah sakit untuk berhenti memberi perlakuan berbeda berdasarkan jenis pembiayaan.
“Ini rumah sakit pemerintah, bukan bisnis privat. Pelayanan harus adil, tidak boleh ada kasta pasien. Kalau ini dibiarkan, berarti ada yang salah dalam sistem RSUDAM,” tegas Husin.
Praktisi Hukum: Potensi Pelanggaran Berat Terhadap Sejumlah UU
Praktisi hukum nasional, H. Alfan Sari, SH, MH, MM, ikut bersuara. Menurutnya, apa yang terjadi bukan sekadar miskomunikasi, melainkan indikasi pelanggaran hukum jika terbukti benar.
Ia menyebut setidaknya tiga undang-undang yang bisa dilanggar:
1. UU Kesehatan No. 36/2009 – setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan aman, bermutu, dan nondiskriminatif.
2. UU Pelayanan Publik No. 25/2009 – penyelenggara layanan wajib memberi pelayanan adil, transparan, dan tidak diskriminatif.
3. UU Perlindungan Konsumen No. 8/1999 – memastikan hak konsumen untuk mendapat pelayanan jujur dan tidak berat sebelah.
“Kalau terbukti ada diskriminasi, sanksinya jelas: administratif, denda, sampai pidana. Ini bukan perkara kecil,” tegas Alfan.
RSUDAM Klarifikasi, Namun Alasan Dinilai Tak Memuaskan Publik
Di tengah derasnya kritik, pihak RSUDAM melalui Humas, Desy, menyampaikan klarifikasi soal pasien bernama Ny. Harini yang disebut ditelantarkan hingga tiga bulan.
RSUDAM mengklaim penundaan terjadi karena:
Pasien menstruasi pada jadwal operasi pertama.
Dokter penanggung jawab sakit pada jadwal kedua.
Jadwal berikutnya menunggu “parade operasi”, yaitu rapat penentuan prioritas oleh dokter spesialis.
Akhirnya, pasien mendapat jadwal operasi baru pada 26 November 2025.
Namun klarifikasi tersebut justru memicu pertanyaan publik: Mengapa penyesuaian jadwal membutuhkan waktu begitu lama? Mengapa pasien BPJS justru mengalami hambatan berlapis?
Aktivis layanan publik menilai alasan yang disampaikan RSUDAM tidak menjawab inti persoalan: mengapa pasien BPJS harus berbulan-bulan menunggu, sementara pasien umum tidak?
Publik Mendesak Reformasi Pelayanan RSUDAM
Kasus ini makin memperburuk citra RSUDAM yang selama ini kerap dikeluhkan soal birokrasi lambat, antrean panjang, dan dugaan perbedaan perlakuan berdasarkan status pembayaran.
Masyarakat mendesak pemerintah provinsi selaku pemilik rumah sakit untuk turun tangan.
Pelayanan kesehatan adalah hak rakyat, dan rumah sakit milik negara tidak boleh menjadi tempat diskriminasi terselubung.
Kasus Ny. Harini kini menjadi ujian serius bagi RSUDAM:
Apakah akan berbenah, atau kembali membiarkan ketidakadilan pelayanan terjadi di ruang-ruang perawatan? (Tim)