Cirebon – Dugaan praktik penguasaan tanah negara oleh PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk kembali mencuat. Setelah sebelumnya terseret kasus penguasaan lahan 87,4 hektare di Desa Palimanan Barat, kini perusahaan semen tersebut disebut-sebut juga menguasai lebih dari 170 hektare lahan negara di Desa Cikeusal, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Informasi ini diungkapkan Kepala Desa Cikeusal, Dedi Karsono, yang juga anggota Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI). Menurutnya, lahan kuari yang dikuasai sejak 1998 hingga 2023 itu tercatat dalam buku tanah/sertifikat Nomor 7 dan 8. Namun, hingga kini Indocement diduga belum pernah memberikan kompensasi kepada pemerintah desa maupun masyarakat.
“Kalau di Palimanan Barat 87 hektare, di Cikeusal justru lebih dari 170 hektare. Tapi selama 25 tahun tidak ada kompensasi sama sekali,” kata Dedi kepada tim investigasi gabungan Jayantara-News.com dan kabarsbi.com, Selasa, 30 September 2025.
Jika dugaan itu benar, potensi kerugian negara diperkirakan mencapai angka besar. Selain berimplikasi pada persoalan administratif dan sosial, kasus ini bisa masuk ranah tindak pidana korupsi sesuai UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain masalah tanah, kegiatan industri Indocement di wilayah tersebut juga disorot karena dituding menyebabkan kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat sekitar. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan serta regulasi lingkungan hidup yang berlaku.
Tim investigasi menilai persoalan ini berkaitan erat dengan transparansi pengelolaan sumber daya alam sebagaimana diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik, serta berpotensi mengandung unsur maladministrasi menurut UU Ombudsman.
Untuk mendorong pengusutan tuntas, tim investigasi akan melaporkan kasus ini ke sejumlah lembaga negara, mulai dari Presiden RI, KPK, Kejaksaan Agung, Polri, Ombudsman RI, Kementerian ATR/BPN, KLHK, hingga Kementerian Pertahanan.
“Kami berharap pemerintah segera turun tangan. Ini bukan sekadar persoalan hukum, tapi juga menyangkut keadilan bagi masyarakat desa yang dirugikan selama puluhan tahun,” ujarnya.