Jakarta
– Dugaan penyimpangan dalam pembangunan Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD
Majalengka senilai Rp9,2 miliar memicu polemik besar di masyarakat. Proyek yang
dibiayai dari anggaran negara itu dilaporkan sarat kejanggalan dan berpotensi
merugikan keuangan daerah. Ratusan media telah mengangkat kasus ini, namun
alih-alih transparansi, wartawan justru mendapat intimidasi dari pihak-pihak
tertentu.
Saeful Yunus, pemerhati kebijakan publik,
menegaskan bahwa pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara adalah hak
konstitusional setiap warga. Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya menyambut
kritik dan sorotan publik sebagai upaya bersama menjaga akuntabilitas.
“Semua warga negara memiliki hak untuk mengawasi, menyoroti, serta melaporkan
penggunaan anggaran negara dan jalannya pemerintahan. Intimidasi terhadap
jurnalis jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi,” ujarnya, Selasa
(26/8/2025).
Agung Sulistio, Pemimpin Redaksi SBI sekaligus
Ketua Umum GMOCT, juga mengecam keras dugaan praktik licik yang dilakukan pelaksana
proyek. Ia menilai sikap tertutup kontraktor dan pihak yang terkait dengan
pembangunan IGD RSUD Majalengka menyalahi prinsip keterbukaan informasi publik.
“Jika proyek berjalan sesuai RAB dan aturan main, seharusnya tidak ada yang
perlu ditutupi. Justru wartawan harus diberi ruang untuk mengawasi. Tindakan
menghalangi liputan jelas melanggar Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999,”
tegasnya.
Lebih jauh, Agung menyebut ada indikasi kuat
keterlibatan orang dekat Bupati Majalengka dalam proyek ini. Hal itu memperkuat
dugaan adanya konflik kepentingan dan potensi penyalahgunaan wewenang. “Kasus
ini harus diusut tuntas oleh aparat penegak hukum agar tidak menjadi preseden
buruk dalam tata kelola pemerintahan daerah,” tambahnya.
Para pemerhati menilai, kasus ini bukan
sekadar soal pembangunan fisik rumah sakit, melainkan menyangkut kepercayaan
publik terhadap pemerintah daerah. Mereka mendesak aparat penegak hukum, baik
kepolisian maupun kejaksaan, untuk turun tangan menindaklanjuti laporan
masyarakat dan menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap insan pers.
Pasal 4 ayat (3) UU Pers dengan tegas melarang
setiap tindakan yang menghambat kerja wartawan, dan pelanggar bisa dikenai
sanksi pidana. Oleh karena itu, intimidasi yang terjadi di lapangan dianggap sebagai
bentuk ancaman serius terhadap kebebasan pers.
“Pers adalah pilar keempat demokrasi. Jika
kebebasan pers terbelenggu, maka praktik korupsi dan penyalahgunaan anggaran
negara akan semakin marak,” kata Saeful Yunus menutup pernyataannya.