Kendari (KASTV) - Menjelang pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Produk Hukum Daerah 2025 yang akan digelar di Kendari, pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara mengambil langkah kontroversial: menyingkirkan ratusan pedagang kaki lima (PKL) dari kawasan Bundaran Kantor Gubernur. Alasannya: demi menata kawasan agar tampak “rapi, bersih, dan indah” di hadapan tamu negara.
Namun langkah itu bukanlah penataan, melainkan pengusiran, tanpa relokasi, tanpa secuil belas kasih. Para pedagang yang telah bertahun-tahun mengais rezeki dari lapak seadanya harus angkat kaki dari tempat mereka menggantungkan hidup. Mereka tidak hanya digusur, tetapi diperlakukan seolah noda di atas cat dinding estetika kota.
“Kami tidak diberikan solusi seperti maling yang mencuri ruang hidup kami,” ujar seorang pedagang gorengan yang sudah lebih dari 3 tahun berjualan di lokasi tersebut.
Yang lebih menyakitkan, pernyataan dari oknum yang beredar di media menyebutkan bahwa tidak ada perlawanan dari para pedagang karena lahan tersebut adalah milik pemerintah. Sebuah pernyataan yang terdengar angkuh dan buta sejarah. Bukankah pemerintah ada untuk rakyat? Bukankah uang pajak, termasuk yang digunakan untuk Rakornas, bersumber dari rakyat — termasuk para pedagang yang kini digusur?
Lebih jauh, seorang pejabat sempat berkata, “Bayangkan kalau Pak Menteri lewat dan melihat tumpukan gerobak serta pedagang berkerumun di sekitar kantor.” Sebuah kalimat yang memperjelas bahwa pemerintah kini lebih sibuk memoles wajah kota untuk tamu, daripada merawat wajah rakyat sendiri.
Estetika yang Menindas: Ketika Rakyat Dianggap Pengganggu Visual
Sejak kapan rakyat dianggap mengganggu citra daerah? Sejak kapan gerobak makanan, minuman, dan tenda-tenda kecil dianggap lebih buruk daripada wajah-wajah lapar dan putus asa? Apakah Pak Mentri nanti yang hadir datang dengan akomodasi pribadi atau akomodasi yang berasal dari Pajak Rakyat ? sehingga hanya menjaga pandanganya kami tergusur!
“Kami ini bukan hama. Kami bagian dari denyut ekonomi kota ini. Kalau kami dibuang seperti sampah, jangan salahkan kalau kota ini kehilangan ruhnya,” ucap seorang ibu penjual nasi kuning
Pemerintah bisa saja bicara tentang penataan kota dan wibawa daerah, tapi tanpa empati dan keadilan sosial, semua itu hanyalah topeng kekuasaan. Menata tanpa memberi ruang alternatif bukan solusi — itu pembunuhan perlahan terhadap usaha kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat bawah.
Bagaimana bisa satu hari agenda negara menghapus ratusan hari perjuangan rakyat kecil?
Jika keindahan kota hanya bisa dicapai dengan mengusir rakyatnya, maka itu bukan pembangunan, tapi perampasan hak hidup. Jika demi satu kali Rakornas, puluhan keluarga kehilangan sumber nafkahnya, maka apa bedanya kekuasaan dengan penindasan?
Apakah Pantas Mereka Memimpin Jika Tidak Mengerti Arti Keadilan?
Ini bukan sekadar persoalan “menertibkan”. Ini tentang bagaimana wajah kekuasaan memperlakukan rakyat kecil. Ketika estetika diutamakan melebihi kemanusiaan, maka kita sedang menyaksikan pemerintahan yang kehilangan arah.
“Demi wajah kota terlihat cantik, wajah kami dibuat murung. Demi rakornas satu hari, ratusan hari kami dirampas,” keluh seorang pedagang minuman keliling. Kamis, (31/7/2025)
Apakah pembangunan itu hanya untuk dipamerkan ke pejabat pusat? Lalu siapa yang menikmati hasilnya jika rakyat kecil terus digusir dari ruang-ruang kehidupannya?
Mereka bukan pengganggu. Mereka bukan perusak wajah kota. Mereka justru bukti nyata bahwa ekonomi rakyat masih hidup — atau dulu, setidaknya, sebelum digusur oleh keangkuhan pemerintah yang lebih mementingkan tamu daripada tuan rumahnya sendiri: rakyat.
"Estetika pemerintahan tidak boleh dibangun di atas derita rakyat. Tidak ada wajah kota yang benar-benar cantik jika di baliknya tersembunyi air mata dan kemarahan rakyat kecil yang dipinggirkan," ujar pedagang cilog dan bertanya sekali lagi.
"Apakah mereka pantas disebut pemimpin, jika tak mampu mendengarkan jerit rakyatnya sendiri? Doa-doa kami terpanjatkan dan biar Tuhan memberikan balasan yang pantas nantinya," tutupnya
Penulis: redaksi