Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi
Sekali lagi saya memakai bahasa Inggris untuk tulisan ini. Bukan karena tinggal di kota New York. Tidak juga karena sok tinggal di luar negeri. Bukan juga untuk dikenal bisa berbahasa bule. Apalagi untuk sekedar dikenal sebagai “a New Yorker, man!”. Bahasa itu semua sama mulianya. Karena semua adalah kreasi Allah.
Saya memakai judul Inggris, seperti yang pernah saya sampaikan, untuk menarik perhatian. Biar judul ini memiliki “eye catchy”. Punya daya tarik. Walau mungkin substansinya biasa-biasa saja. Sekaligus ingin mengingatkan betapa kita sering terperangkap oleh “cover” sebuah buku tanpa mendalami isinya. Seolah kalau sudah bahasa bule pasti lebih hebat. Hentikan inferior mindset itu.
Hanya saja judul yang saya pakai kali ini juga bisa disalah pahami secara konten. Kemungkinan saja ada yang salah memahaminya sebagai dorongan hidup untuk tujuan memenuhi kepentingan duniawi (worldly interest). Padahal yang saya maksud adalah “beneficial to others”. (bermanfaat kepada sesama).
Asumsi saya di atas juga merujuk kepada realita betapa ada orang-orang tertentu sangat cekatan mencari kesalahan orang lain. Yang benar saja di carikan celah salahnya. Apalagi memang salah. Sehingga hobinya memang selalu menyalahkan orang lain, bahkan mencari-cari kesalahan orang lain.
Dengan judul ini saya sekaligus ingin menyampaikan bahwa dalam menilai dunia, termasuk diri kita sendiri dan tetangga, kerap cara pandang seperti ini berlaku. Menilai diri atau orang lain pada tepian realita. Prestasi dan kehebatan dinilai pada penampakan sesaat. Tanpa usaha menyelami siapa diri kita atau tetangga di sekitar kita.
Islam sesungguhnya telah memberikan acuannya dalam menilai sesuatu atau seseorang. Apakah menilai diri sendiri atau orang lain.
Islam tidak menafikan adanya “fadhail” (kelebihan-kelebihan) tertentu pada masing-masing orang. Bahkan nabi-nabi Allah juga masing-masing memiliki keutamaan/kelebihan antara satu dan lainnya (faddholnaa ba’dhohum alaa ba’dh”. Ada yang dilebihkan Pada asfek fisikal (ganteng atau cantik) seperti Yusuf AS. Ada pula pada aspek harta (kaya) seperti Sulaeman. Juga pada aspek sosial (terkenal dan dihormati) seperti Ibrahim AS dan cucunya Muhammad SAW. Demikian seterusnya.
Pada aspek-aspek itu Allah menegaskan “dan Allah melebihkan sebagian di antara kalian di atas sebagian yang lain” (Al-Quran).
Ini menjadi sunnatullah yang dengannya terjadi “tansiiq” (interkoneksi) dalam kehidupan. Yang miskin perlu yang kaya. Dan yang kaya juga perlu yang miskin. Yang bodoh perlu yang pintar. Dan yang pintar juga perlu yang bodoh.
Bahkan sejatinya tak akan ada orang kaya kalau tidak ada orang miskin. Dan tak akan ada orang pintar tanpa orang bodoh. Kalau semua kaya atau pintar, bagaimana mengukur kekayaan dan kepintaran?
Tapi dari semua aspek-aspek yang dianggap kelebihan itu, Islam kemudian menempatkan sebuah nilai (value) yang menembus semua aspek-aspek keduniaan itu. Nilai itulah yang disebut dengan “taqwa”.
“Inna akromakum indallah atqaakum” (Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa”- al-Hujurat: 13).
Ketakwaan itu menembus semua dinding-dinding keduniaan kita. Dinding fisikal (ganteng atau cantik). Dinding harta dan kepemilikan (kaya atau miskin). Dinding-dinding sosial (terkenal atau tidak dikenal, terhormat atau tidak dihormati). Demikian seterusnya, ketakwaanlah dalam pandangan Islam yang menjadi penentu semuanya.
Ketakwaan tentunya dipahami sebagai tingkatan tertinggi dari religiositas seseorang. Ketakwaan itu mencakup sisi hidup beragama kita. Dari Syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji, hingga ke layanan sosial baik kepada keluarga sendiri maupun kepada tetangga dan seluruh manusia.
Esensinya ketakwaan itu teraktualkan dalam pengabdian kita, baik secara vertikal (hablun minallah) maupun secara horizontal (hablun minannas).
Inilah sesungguhnya yang ingin saya garis bawahi dengan istilah “benefit oriented”. Bahwa hidup manusia bertakwa itu adalah hidup yang berorientasi kepada kemanfaatan (benefits).
Dengan hidupnya yang berorientasi kemanfaatan itu seseorang menjalani hidup dalam ketakwaan. Dan dengan ketakwaan itu dia menjadi orang yang mulia (noble).
Realita itulah juga yang sesungguhnya tersimpulkan pada hadits Rasulullah SAW yang disampaikan tadi. Bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat” (hadits).
Karenanya mari hidup mulia (‘isy karimah) dengan menabur manfaat di alam sekitar kita. Dengan kemanfataan itulah kemuliaan dan kehormatan akan diraih. Mungkin tidak di mata manusia. Tapi di mata Allah (‘indallah). Semoga!
Batam, 24 Mei 2025
Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation