Dr Weldy: Masihkah Ada Pejabat Negara yang Tak Menerima Gratifikasi?

Dr Weldy: Masihkah Ada Pejabat Negara yang Tak Menerima Gratifikasi?

JAKARTA — Penetapan status tersangka terhadap Bupati Bekasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memantik perbincangan publik soal praktik gratifikasi di kalangan pejabat negara. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK dinilai menunjukkan bahwa persoalan korupsi, khususnya dalam perizinan proyek, masih menjadi masalah serius dalam tata kelola pemerintahan daerah.

Dalam rilis resminya, Sabtu (20/12/2025), KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yakni Bupati Bekasi berinisial ADK, ayahnya HMJ, serta seorang pihak swasta berinisial SRJ. Ketiganya diduga terlibat dalam kasus suap terkait pengurusan perizinan proyek.

Menanggapi hal tersebut, praktisi hukum Dr Weldy Jevis Saleh, SH., MH., menyatakan dukungannya terhadap langkah penegakan hukum yang dilakukan KPK. Namun, ia mengingatkan agar penindakan tidak menjadi satu-satunya pendekatan yang dikedepankan.

“Pada prinsipnya kita mendukung upaya-upaya yang dilakukan KPK. Tetapi pertanyaannya, sampai kapan OTT terus dilakukan? KPK sebagai lembaga penegak hukum juga harus mengedepankan fungsi pencegahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KPK,” ujar Dr Weldy saat dihubungi, Sabtu (20/12/2025).

Biaya Politik dan Gratifikasi

Menurut Dr Weldy, praktik gratifikasi kerap berkelindan dengan tingginya biaya politik dalam kontestasi jabatan publik. Ia merujuk pada ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa gratifikasi dapat dikategorikan sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban penerima.

“Untuk menjadi pejabat publik, mulai dari bupati, wali kota, hingga gubernur, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di sisi lain, penghasilan resmi pejabat sering kali tidak sebanding dengan modal politik yang telah dikeluarkan. Kondisi ini membuat banyak pejabat rentan menerima hadiah atau fee dari pihak swasta,” jelasnya.

Ia menilai realitas tersebut turut menjelaskan mengapa praktik gratifikasi masih marak terjadi, khususnya dalam sektor perizinan dan proyek-proyek pemerintah.

Dorongan Perkuat Pencegahan

Lebih lanjut, Dr Weldy menekankan bahwa KPK memiliki mandat kuat dalam aspek pencegahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 7, 13, dan 14 Undang-Undang KPK. Kewenangan tersebut mencakup pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), penerimaan laporan gratifikasi, hingga pemberian rekomendasi perbaikan sistem pemerintahan.

“KPK memiliki kewenangan melakukan monitoring dan memberikan rekomendasi perbaikan sistem. Jika rekomendasi itu dijalankan secara konsisten oleh instansi pemerintah, potensi korupsi bisa ditekan dan OTT tidak selalu menjadi jalan utama,” katanya.

Sesuai ketentuan hukum, setiap penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkannya kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dapat berujung pada ancaman pidana berat, mulai dari penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal empat tahun hingga maksimal 20 tahun, serta denda hingga Rp 1 miliar.

Kasus yang menjerat Bupati Bekasi ini kembali menegaskan tantangan besar pemberantasan korupsi di Indonesia, sekaligus memunculkan pertanyaan yang disampaikan Dr Weldy: masih adakah pejabat negara yang benar-benar bebas dari gratifikasi?


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال