Kendari (KASTV) – Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Ir. Hugua, M.Ling, tampil sebagai narasumber utama dalam Seminar Nasional Jurusan Ilmu Lingkungan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo (FHIL UHO) yang mengusung tema Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan, Air, dan Energi Berkelanjutan. Kegiatan yang berlangsung di Hotel Claro Kendari pada Senin (3/11/2025) ini dibuka secara resmi oleh Plt. Rektor UHO, Dr. Herman, S.H., LL.M.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut perwakilan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Kepala Lembaga Riset Internasional untuk Lingkungan dan Perubahan Iklim IPB University, para Rektor perguruan tinggi di Sulawesi Tenggara, Dekan FHIL UHO, para dosen, guru besar, serta pejabat lingkup Universitas Halu Oleo.
Dalam arahannya, Wakil Gubernur Sultra menegaskan bahwa isu lingkungan tidak hanya berkaitan dengan aspek ekologi, tetapi juga menyangkut dimensi perilaku, peradaban, dan kepemimpinan manusia. “Environment is not ideology, it is a leadership. Kepemimpinan lingkungan itu sederhana — percaya kepada Tuhan, menghargai manusia, dan seluruh ciptaannya. Jika tidak, maka manusialah yang akan menjadi perusak bumi,” ujar Hugua.
Pada kesempatan tersebut, Wakil Gubernur membawakan materi berjudul “Kebijakan Lingkungan dan Best Practices di Kabupaten Wakatobi 2006–2016” yang menggambarkan pengalaman sukses penerapan pembangunan lingkungan terintegrasi dan berkelanjutan di daerah tersebut.
Menurutnya, memahami lingkungan berarti memahami asal-muasal kehidupan itu sendiri. Ia menjelaskan bahwa matahari sebagai sumber energi utama menjadi dasar terbentuknya kehidupan di bumi melalui proses fotosintesis. “Matahari memberi fotosintesis, menghasilkan oksigen, dan melahirkan kehidupan. Tapi begitu manusia mulai ‘merancang’, maka perusakan lingkungan pun dimulai,” katanya.
Hugua menilai bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara unsur biotik, abiotik, dan sosial-kultural, yang kemudian diperparah oleh keserakahan manusia.
“Sejak revolusi industri di abad ke-18, ketika mesin uap ditemukan, dimulailah pergeseran budaya lokal menjadi budaya global. Kapitalisme dan imperialisme muncul, mempercepat eksploitasi alam. Inilah akar kerusakan lingkungan yang kita alami hingga kini,” jelasnya.
Hugua menekankan bahwa filosofi lingkungan dimulai dari kesadaran spiritual dan sosial manusia.
“Syukur kepada Tuhan, kepada alam semesta, dan kepada sesama manusia - itulah tiga fondasi filsafat lingkungan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa negara dibentuk oleh tiga unsur utama: penduduk, pemerintah, dan wilayah. Ketika pengelolaan sumber daya alam tidak seimbang, maka dampaknya bukan hanya pada alam, tetapi juga terhadap keberlangsungan bangsa.
“Kalau pengelolaan tambang tidak seimbang, maka kehancuran akan terlalu cepat. Itulah sebabnya, sektor lingkungan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan pembangunan,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Wakil Gubernur Hugua juga menyoroti pentingnya sinergi antara perguruan tinggi dan pemerintah daerah dalam menciptakan sumber daya manusia yang peka terhadap isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
“Perguruan tinggi memproduksi manusia, dan kami di pemerintah adalah user-nya. Maka harus ada kesinambungan antara visi nasional, visi daerah, dan visi perguruan tinggi,” tegasnya.
Ia mengibaratkan perguruan tinggi seperti pesawat yang dipiloti rektor.
“Kalau tidak tahu arah dan tidak paham kewenangan pemerintah daerah, maka pesawat itu tidak akan pernah mendarat. Padahal saat mendarat, dia berada di tanah otonomi - seperti di Konawe Selatan, di Wakatobi, di Kendari - maka harus tahu visi daerahnya,” ujar Hugua.
Menurutnya, kebijakan lingkungan termasuk dalam urusan wajib pemerintahan daerah. Ia menegaskan pentingnya pemahaman tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, agar sinergi antara dunia akademik dan birokrasi bisa berjalan beriringan.
Sebagai mantan Bupati Wakatobi dua periode (2006-2016), Hugua memaparkan pengalaman suksesnya membangun Wakatobi dengan pendekatan lingkungan dan budaya lokal.
“Wakatobi memiliki 750 jenis terumbu karang dari total 850 jenis di dunia. Artinya, Wakatobi adalah surga nyata di pusat segitiga karang dunia. Maka kebijakan pembangunan harus berpijak pada realitas lokal,” tuturnya.
Dalam pandangannya, pembangunan daerah harus dimulai dari prinsip sederhana: jika memberi kepada alam, maka alam akan memberi kembali. Namun jika hanya mengambil, maka kehancuran akan datang.
“Tambang bisa bertahan hanya 15 tahun lagi, setelah itu habis. Tapi sektor pertanian bisa bertahan selamanya jika dikelola dengan bijak. Maka prinsip pembangunan berkelanjutan harus menempatkan masyarakat, budaya, dan lingkungan sebagai pilar utama,” jelas Hugua.
Hugua memaparkan tiga program utama pembangunan lingkungan di Wakatobi, yaitu revitalisasi lembaga adat sebagai mitra pemerintah dalam menjaga kearifan lokal, reformasi birokrasi berbasis budaya lokal melalui pelatihan Out of the Box Mindset Change, serta penguatan jejaring lokal, nasional, dan global untuk menjadikan Wakatobi sebagai pusat pembelajaran konservasi laut dunia.
Sementara itu, selama satu dekade memimpin Wakatobi, Hugua berhasil menjalankan program pembangunan lingkungan terintegrasi yang berdampak nyata. Pertumbuhan ekonomi daerah mencapai 13,67 persen, PDRB per kapita meningkat dua kali lipat, dan tingkat pengangguran turun hingga 5 persen. Dari sisi lingkungan, tutupan karang, populasi ikan, dan penyu meningkat signifikan, sementara praktik illegal fishing menurun tajam. Secara sosial, kesadaran nelayan terhadap konservasi meningkat dan kemitraan dengan lembaga nasional maupun internasional semakin kuat, dengan IPM Wakatobi mencapai 77,80 pada 2016.
Menutup paparannya, Wakil Gubernur Sultra, Hugua, menegaskan bahwa pembangunan lingkungan berkelanjutan hanya dapat terwujud melalui kepemimpinan yang arif dan berbasis kearifan lokal. “Kearifan lokal itu sederhana, tapi sesungguhnya sangat canggih. Kalau kita memberi kepada alam, alam akan memberi tanpa batas. Itulah inti dari pembangunan berkelanjutan,” pungkasnya.
Sumber: PPID