Pengantar Obrolan Ekonomi Politik“Dampak Pemangkasan TKD: Potensi Gejolak di Daerah Tahun 2026?”

Pengantar Obrolan Ekonomi Politik“Dampak Pemangkasan TKD: Potensi Gejolak di Daerah Tahun 2026?”

Pemerintah memastikan akan memangkas anggaran Transfer ke Daerah (TKD) pada tahun 2026 sebesar 25 persen dari total anggaran awal yang mencapai Rp864,1 triliun, sehingga terdapat pengurangan sekitar Rp214,1 triliun. Jika dibandingkan dengan proyeksi TKD tahun 2025 sebesar Rp919,9 triliun, maka penurunannya mencapai hampir 30 persen. Secara historis, alokasi TKD tahun 2026 ini menjadi yang terendah dalam satu dekade terakhir. Sebagai perbandingan, pada tahun 2015 anggaran awal TKD tercatat sebesar Rp758,9 triliun, dan sejak saat itu angkanya relatif stabil di kisaran Rp800–900 triliun, kecuali pada tahun 2021 yang hanya mencapai Rp785,7 triliun (realisasi).

Sementara itu, dalam APBN 2026, pemerintah menetapkan belanja negara sebesar Rp3.842,7 triliun dengan pendapatan negara diproyeksikan mencapai Rp3.153,6 triliun, menghasilkan defisit 2,68 persen terhadap PDB. Target ekonomi nasional meliputi pertumbuhan sebesar 5,4 persen, inflasi terkendali di 2,5 persen, suku bunga SBN sekitar 6,9 persen, serta nilai tukar rupiah diperkirakan di Rp16.500 per dolar AS. Sebagai perbandingan, proyeksi defisit APBN 2025 ditetapkan sebesar 2,53 persen dari PDB atau senilai Rp616,2 triliun, sementara per September 2025, realisasi defisit baru mencapai Rp371,5 triliun (1,56 persen dari PDB), dari target defisit 2,78 persen.

Dalam konteks tersebut, pemangkasan TKD menimbulkan pertanyaan serius, terutama bagi daerah yang sangat bergantung pada dana pusat. Kebijakan ini diperkirakan akan mengguncang keuangan daerah, karena banyak pemerintah daerah telah menetapkan program dan anggaran berdasarkan asumsi dana transfer yang lebih besar. Dampak lanjutan pemotongan ini berpotensi menyebar ke berbagai sektor, seperti perekonomian daerah, pelayanan publik, hingga pembangunan infrastruktur. Tidak tertutup kemungkinan, daerah akan meningkatkan tekanan fiskal kepada masyarakat dengan menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang pada gilirannya bisa membebani publik dan memicu keresahan sosial.

Dengan demikian, kebijakan ini tidak bisa dianggap ringan sebagaimana disampaikan oleh Menkeu Purbaya. Pemerintah daerah kini dihadapkan pada situasi sulit: harus berhemat di tengah tuntutan besar dari masyarakat, termasuk dalam merealisasikan janji-janji politik kepala daerah. Dalam jangka panjang, pemangkasan TKD bisa berdampak pada melambatnya pembangunan dan ketimpangan antarwilayah.

Oleh sebab itu, diskusi bersama para pakar ekonomi menjadi penting untuk mengupas secara mendalam alasan di balik kebijakan ini serta implikasinya bagi perekonomian daerah dan nasional, sehingga masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang lebih jernih mengenai situasi fiskal dan arah kebijakan pemerintah ke depan.


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال