Cirebon — Pemerintah Desa Cikeusal, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, menegaskan belum pernah dilibatkan dalam proses apa pun terkait isu perpanjangan Surat Hak Pengelolaan (SHP) oleh PT Indocement. Pernyataan ini disampaikan untuk meluruskan informasi yang beredar luas di masyarakat.
Kepala Desa Cikeusal, Dedi Karsono, mengatakan hingga kini pihaknya belum menerima surat permohonan, komunikasi resmi, maupun bentuk koordinasi dari Indocement terkait perpanjangan hak pengelolaan lahan di wilayah desanya. “Informasi bahwa perpanjangan SHP sudah berjalan itu tidak benar dan tidak berdasar,” ujarnya, Jumat (10/10/2025).
Menurut Dedi, secara hukum administrasi, setiap proses perpanjangan SHP harus melalui mekanisme formal yang melibatkan pemerintah desa sebagai otoritas wilayah. Tanpa adanya permohonan tertulis, musyawarah desa, dan rekomendasi resmi dari perangkat desa, proses tersebut dinilai cacat prosedur dan tidak memiliki kekuatan hukum. Ia menegaskan bahwa pengabaian mekanisme itu dapat menimbulkan sengketa administratif dan melanggar asas legalitas.
Langkah klarifikasi ini diawali oleh Saeful Yunus, Kepala Perwakilan Sahabat Bhayangkara Indonesia (SBI), yang melakukan konfirmasi resmi terkait isu tersebut. Saeful menilai, klarifikasi dari pemerintah desa penting untuk mencegah penyebaran informasi sepihak dan potensi konflik kepentingan. “Transparansi dan kepatuhan terhadap hukum merupakan bentuk perlindungan terhadap hak masyarakat sekaligus pengawasan terhadap aktivitas korporasi,” ujarnya.
Dedi Karsono menambahkan, pemerintah Desa Cikeusal terbuka untuk berkomunikasi secara resmi jika Indocement ingin mengajukan perpanjangan SHP sesuai ketentuan hukum. Namun, tanpa koordinasi dan dasar hukum yang sah, desa berhak menolak atau tidak mengakui klaim perpanjangan tersebut. “Prioritas kami adalah menjaga kepastian hukum, kedaulatan wilayah, dan kepentingan masyarakat,” tegasnya.
Sementara itu, Agung, Pimpinan Redaksi SBI, mempertanyakan legalitas klaim perpanjangan SHP yang dilakukan tanpa pelibatan pemerintah desa. Ia menegaskan, sesuai UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah desa memiliki kewenangan penuh atas wilayahnya. Selain itu, proses perpanjangan hak pengelolaan lahan juga harus mematuhi UUPA Nomor 5 Tahun 1960 serta PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan dan Pendaftaran Tanah. Tanpa adanya dokumen resmi dan musyawarah desa, klaim perpanjangan tersebut dinilai tidak sah dan cacat hukum.
Saeful Yunus juga meminta Aparat Penegak Hukum (APH) serta pemerintah kabupaten dan provinsi ikut mengawal kebenaran informasi ini. Ia mengingatkan, tindakan yang mengatasnamakan perpanjangan SHP tanpa prosedur sah dapat melanggar UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. “Negara tidak boleh membiarkan praktik yang menafikan kewenangan desa atau memanipulasi hukum demi kepentingan korporasi,” katanya menegaskan.
Ia menutup dengan menyerukan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap kewenangan hukum pemerintahan desa sebagai bagian dari penegakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).