SIDOARJO || Kasuaritv.com -Senin, (6/10/25) Kemitraan antara Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Sidoarjo dengan awak media lokal tengah menjadi sorotan tajam. Rilis berita pemerintah yang didistribusikan melalui grup media dinilai kehilangan nilai jurnalistik karena sebagian besar wartawan yang terdata resmi justru tidak menindaklanjuti, atau lebih parah, hanya melakukan copy paste mentah tanpa proses olah dan verifikasi.
Kondisi ini memicu kritik keras dari kalangan pengamat media dan internal pers sendiri, yang menyebut praktik tersebut sebagai gejala kemunduran profesionalisme dan ancaman serius bagi ekosistem komunikasi publik yang sehat.
Dalam teori komunikasi publik, rilis (siaran pers) sejatinya adalah bahan mentah atau jembatan informasi awal yang membutuhkan sentuhan analisis, penafsiran, dan penguatan data lapangan dari seorang jurnalis. Tujuannya agar informasi yang sampai ke masyarakat menjadi utuh dan berimbang.
Namun, pengamatan di grup media Kominfo Sidoarjo menunjukkan realitas yang memprihatinkan. Dari puluhan nama wartawan yang tercatat, hanya segelintir yang benar-benar mengubah rilis menjadi berita yang memiliki sudut pandang khas dan nilai tambah. Sebagian besar lainnya dicurigai jarang atau bahkan tidak pernah menaikkan rilis ke media masing-masing.
Lebih meresahkan lagi, sebagian dari yang menayangkan rilis terbukti hanya menyalin teks. Mereka gagal menjalankan fungsi esensial jurnalisme verifikasi, olah data, dan analisis konteks.
"Menulis ulang dengan analisis dan akal sehat adalah bentuk tanggung jawab jurnalis. Rilis yang tidak diolah hanyalah teks mati tanpa makna," ujar seorang Pengamat Media Lokal di Sidoarjo yang enggan disebut namanya, menyoroti krisis nalar jurnalistik di lapangan.
Kritik ini tidak hanya ditujukan kepada wartawan, tetapi juga kepada Kominfo. Lembaga pemerintah didorong untuk segera mengubah pola distribusi informasinya agar bisa menjadi alat uji profesionalisme bagi para mitra media.
Kominfo disarankan untuk tidak hanya mengirimkan teks narasi semata. Mereka perlu menyertakan DOM (Data, Objek, dan Makna) yang lebih rinci pada setiap rilis. Langkah ini dianggap krusial agar wartawan memiliki pijakan untuk mengurai substansi, menafsirkan, dan menulis sesuai karakter media masing-masing.
"Rilis tanpa ruang tafsir hanya mematikan daya kritis wartawan. Padahal jurnalisme hidup dari proses berpikir dan olah makna," tegas salah satu Wartawan Lokal Senior, menggarisbawahi pentingnya rilis yang memancing kerja jurnalistik, bukan sekadar mempermudah penyalinan.
Kondisi ini membawa pada tuntutan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas grup media dan sistem kemitraan yang selama ini dibentuk. Jumlah nama dalam daftar kemitraan tidak lagi bisa menjadi tolok ukur keberhasilan komunikasi publik jika partisipasi aktif dan kualitas liputannya sangat rendah.
Pers daerah sejatinya memiliki peran besar dalam menjaga keseimbangan informasi. Peran tersebut akan kehilangan bobot bila wartawannya tidak aktif, apalagi hanya menjadi corong informasi pemerintah tanpa filter dan analisis kritis.
Pada akhirnya, Kominfo Sidoarjo dituntut berani menata ulang sistem kemitraan media, dengan mengedepankan kualitas partisipasi dan integritas pemberitaan, bukan sekadar jumlah nama yang terdaftar untuk memenuhi kuota.
Sinergi antara Kominfo dan pers tidak boleh berhenti di ruang grup WhatsApp. Komunikasi publik harus hidup di ruang redaksi, di lapangan, dan di ruang dialog profesional, di mana jurnalisme yang sehat dan kritis bisa lahir.
Antara Kominfo dan wartawan, komunikasi publik bukan sekadar kirim dan tayang, tetapi olah pikir dan tanggung jawab bersama.(*)
Penulis : Didik Karaeng