Iklim Usaha yang Kondusif dan Adil Sebagai Prasyarat Pembangunan Ekonomi Berkualitas: Stop ‘Kriminalisasi’

Iklim Usaha yang Kondusif dan Adil Sebagai Prasyarat Pembangunan Ekonomi Berkualitas: Stop ‘Kriminalisasi’



Opini oleh: Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

 

Semakin lama iklim usaha di Indonesia semakin kurang kondusif bagi pengusaha. Khususnya bagi pengusaha swasta yang selalu dicurigai sebagai ‘monster’ serakah. Stigma ini tidak jarang digunakan untuk pengalihan isu atas kegagalan pihak-pihak tertentu. Artinya, pengusahaan swasta seringkali dijadikan kambing hitam, alias dikorbankan, atau bahkan dijadikan ‘ATM’.

 

Antara lain, ‘kriminalisasi’ pabrik beras “Maknyus” sekitar tahun 2017/2018 yang membuat pabrik beras tersebut pailit. Beberapa karyawannya dipenjara. Sekarang muncul fenomena baru, yaitu beras ‘oplosan’ yang juga sudah minta korban.

 

Contoh lainnya yang masih segar, kasus ‘kriminalisasi’ kebijakan impor gula terhadap mantan menteri perdagangan Tom Lembong. Kasus ini masuk kategori ‘kriminalisasi’, karena Tom Lembong secara terang-benderang tidak terbukti melakukan korupsi maupun suap, tetapi dicari-cari alasan seolah-olah Tom Lembong melakukan tindak pidana korupsi, bukan untuk diri sendiri tetapi untuk menguntungkan pihak lain yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

 

Pihak lain tersebut adalah perusahaan swasta yang diberi izin impor gula. Padahal perusahaan swasta tersebut ditugaskan untuk mencukupi kebutuhan gula nasional yang mengalami defisit. Ketika ditugaskan oleh negara, melalui kementerian perdagangan, tentu saja perusahaan swasta tidak bisa dan tidak berani menolak.

 

Buntut ‘kriminalisasi’ terhadap Tom Lembong, sembilan perusahaan gula akhirnya dijadikan korban. Mereka dituduh diuntungkan oleh kebijakan importasi gula Tom Lembong yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Akibat ‘kriminalisasi’ ini luar biasa. Pejabat dari sembilan perusahaan gula tersebut dijadikan tersangka tindak pidana korupsi dan dipenjara. Padahal mereka jelas-jelas hanya menjalankan tugas negara untuk memproduksi gula kristal putih yang terus-menerus mengalami defisit setiap tahun. Mereka dikorbankan.

 

Tom Lembong kini sudah bebas, mendapat abolisi dari Presiden Prabowo. Artinya, kebijakan impor gula harus dinyatakan tidak ada pelanggaran apapun, tidak ada tindak pidana korupsi. Tetapi, pejabat sembilan perusahaan gula masih saja tetap ditahan.

 

Belum reda badai menimpa perusahaan gula rafinasi, mereka kini harus menghadapi tuduhan lain yang nampaknya bersifat fitnah.

 

Hal ini bermula dari pernyataan anggota komisi VI DPR RI, Nisam Khan, yang menyoroti gula petani tebu menumpuk di gudang-gudang di Situbondo dan Wonosobo, Jawa Timur, karena tidak terserap pasar.

 

Atas kondisi yang memprihatinkan ini, ada pihak yang mau cari untung di air keruh. Mereka mencari kambing hitam. Siapa lagi kalau bukan perusahaan gula rafinasi. Peluru diarahkan kepada mereka, dan dituduh menjadi penyebab gula petani tebu tidak laku. Dengan alasan, gula rafinasi merembes ke pasar tradisional sehingga membuat gula konsumsi petani tebu tidak laku. Seolah-olah, gula rafinasi membanjiri pasar tradisional.

 

Kemudian anggota DPR RI lainnya, Sahroni dari komisi III, langsung menyambut umpan Nisam Khan, dan minta polri dan kejagung usut dugaan permainan gula di Jatim.

 

https://www.metrotvnews.com/read/NxGCGD6Y-sahroni-desak-polri-dan-kejagung-usut-dugaan-permainan-gula-di-jatim

 

Pernyataan para anggota dewan tersebut yang sangat disayangkan, karena tersirat menyudutkan pihak tertentu. Dalam hal ini, nampaknya pernyataan para anggota dewan tidak didukung fakta yang benar. Pernyataan spontan tersebut nampaknya tidak melalui kajian sama sekali. Misalnya, apakah benar gula petani tebu tidak terserap karena gula rafinasi membanjiri pasar tradisional?

 

Nampaknya, patut diduga ada pihak yang dengan sengaja mendorong agar anggota dewan bicara spontan untuk memojokkan gula rafinasi.

 

Alasannya sebagai berikut. Pertama, musim panen  dan musim giling tebu mencapai puncaknya sekitar bulan Juli hingga Oktober. Pada masa ini, produksi tebu pasti berlimpah ruah, dan kemungkinan besar memang tidak bisa diserap seluruhnya oleh perusahaan gula berbahan baku tebu, karena melebihi kapasitas finansial mereka. Sebagai indikasi, permasalahan struktural ini akan terus terulang setiap tahun.

 

https://www.tempo.co/ekonomi/2-penyebab-gula-rafinasi-bocor-di-pasar-menurut-petani-tebu-831918

 

https://ekonomi.bisnis.com/read/20180923/12/841156/puluhan-ton-gula-rafinasi-merembes-ke-pasar-konsumen

 

Hal ini juga terjadi di komoditas pertanian lainnya, bukan hanya di komoditas tebu. Harga gabah, cabe, singkong, dan seterusnya pasti jatuh pada saat panen raya.

 

Jadi, gula petani jatuh bukan karena gula rafinasi merembes ke pasar tradisional. Tetapi karena supply berlimpah ruah di masa panen raya, dan pemerintah atau BUMN gula tidak mempunyai mekanisme untuk menyangga harga gula petani agar tidak jatuh. Ini yang menjadi akar masalah sebenarnya.

 

Kedua, gula rafinasi yang ‘bocor’ ke pasar tradisional, apabila ada, jumlahnya sangat tidak signifikan. Artinya jumlah tersebut tidak bisa menjadi faktor gula petani tebu tidak terserap pasar. Bayangkan, produksi gula tebu nasional sekitar 2,2 sampai 2,5 juta ton. Gula rafinasi yang diduga ‘bocor’ ke pasar tradisional hanya puluhan sampai ratusan ton saja. Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan kebutuhan konsumsi gula pasir nasional yang mencapai 3 juta ton lebih. Artinya, jumlah rembesan sangat tidak signifikan untuk bisa pengaruhi penjualan gula petani tebu.

 

Ketiga, seandainya ada gula rafinasi yang bocor ke pasar tradisional, hal ini patut diduga dilakukan oleh oknum yang ingin diskreditkan perusahaan gula rafinasi. Mereka ingin mencari kambing hitam atas kondisi gula petani yang tidak terserap pasar karena supply berlimpah ruah di musim panen raya, yang membuat harga jatuh.

 

Dalam hal ini, patut diduga ada pihak yang memang sengaja untuk membocorkan gula rafinasi ke pasar tradisional, untuk diskreditkan perusahaan gula rafinasi, atau tepatnya ‘kriminalisasi’ perusahaan gula rafinasi.

 

Karena, tidak mungkin rembesan gula rafinasi ke pasar tradisional dilakukan oleh perusahaan gula rafinasi. Hal ini terlalu kecil bagi bisnis mereka. Selqin itu, mereka juga tidak mempunyai kapasitas operasional untuk menjual eceran di pasar tradisional. Tidak ada pabrik dalam industri apapun di dunia yang menjual penjualan eceran secara langsung ke pasar. Oleh karena itu, sistem penjualan ke pasar dilakukan melalui sistem distribusi berjenjang, yaitu misalnya dari distributor utama, distributor wilayah, distributor subwilayah, distributor khusus untuk industri makanan, distributor khusus untuk industri minuman, dan seterusnya.

 

Oleh karena itu, sesuai permintaan Sahroni, anggota komisi III DPR RI, aparat penegak hukum harus segera bertindak dan menemukan siapa pelaku intelektual dari upaya ‘kriminalisasi’ terhadap perusahaan gula, dan apa motifnya. Dan bagi oknum yang diperintah untuk menjual gula rafinasi di pasar tradisional harus segera ditindak sesuai hukum yang berlaku.

 

https://m.kumparan.com/kumparanbisnis/akui-gula-rafinasi-merembes-ke-pasar-eceran-mendag-siapkan-sanksi-1537166889341816268/full

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال