Tasikmalaya - Sebuah bank milik Nnegara di Tasikmalaya menjadi
sorotan publik setelah terungkap pemberian fasilitas kredit senilai Rp2,5
Miliar kepada seorang debitu yang tidak memiliki usaha tetap atau jaminan usaha
yang sah. Kasus ini dinilai sebagai bentuk maladministrasi dan kelalaian berat
dari pihak bank. Analisis kredit adalah prosedur wajib, kalau dilewati, risiko
kredit macet sangat tinggi, serta berpotensi merugikan negara maupun industri
perbankan secara keseluruhan.
Fakta ini mencuat setelah dilakukan penelusuran terhadap
proses pemberian kredit yang diduga tidak memenuhi prinsip kehati- hatian
perbankan (prudential banking principle), sebagaimana di atur dalam pasal 29
ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa bank wajib
melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Advokat Fajar, SH menyampaikan pemberian pinjaman sebesar
itu kepada debitur tanpa usaha tetap bukan hanya mencederai prinsip
kehati-hatian. “Tapi juga berpotensi kuat merupakan bentuk penyimpangan
administratif, kelalaian manajemen risiko dan kemungkinan rekayasa dokumen,” ujarnya.
Lebih lanjut Fajar, SH menjelaskan pemberian pinjaman ini
diduga melanggar ketentuan dalam pasal 8 ayat (1) Undang – Undang Nomor 10
tahun 1998 yang menyatakan bahwa “dalam memberikan kredit atau pembiayaan, bank
wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Kemudian dalam pasal 19 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999
menyebutkan bahwa pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi atas kerugian yang
ditimbulkan akibat produk hukum atau jasa yang tidak sesuai.
“Dugaan kasus ini memiliki kemiripan dengan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 3306K/Pdt/2009, yang menyatakan bahwa bank dapat dinyatakan
bersalah secara perdata jika terbukti lalai dalam menerapkan prinsip
kehati-hatian, sekalipun pinjaman telah dicairkan dan gagal bayar dilakukan
oleh debitur,” ujarnya, Kamis (14/8/2025).
Ia menjelaskan, dalam yurisprudensi tersebut, Mahkamah
menekankan bahwa tanggung jawab bank tidak semata pada kemampuan debitur
membayar, tetapi juga pada proses evaluasi dan verifikasi yang benar dan sahih
sebelum kredit disalurkan.
Lembaga-lembaga pengawas, termasuk OJK dan Ombudsman RI,
diminta untuk segera turun tangan dan melakukan audit investigasi menyeluruh
terhadap kasus ini. Jika terbukti terjadi pelanggaran berat, maka harus
dilakukan sanksi administratif kepada bank yang bersangkutan,
“Jika terbukti ada pelanggaran prinsip kehati-hatian, sanksi
administratif maupun tindakan hukum bisa dijatuhkan serta pencopotan pejabat
bank tersebut yang terlibat dalam proses persetujuan kredit, dan langkah pidana
atau perdata, jika ditemukan unsur kesengajaan atau kerja sama jahat (fraud),”
harapnya.
“Kami tidak bisa membiarkan sistem perbankan dikotori oleh
praktik semacam ini. Jika bank bisa mencairkan Rp2,5 miliar tanpa verifikasi
yang layak, maka siapa yang menjamin integritas sistem keuangan kita? “ ucap
Fajar,SH.
“Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana kelalaian
institusi keuangan dapat menimbulkan risiko sistemik dan merusak kepercayaan
masyarakat terhadap dunia perbankan. Oleh karena itu, transparansi, pengawasan,
dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas dalam menindak setiap
pelanggaran,” paparnya.
Ia berharap pihak – pihak terkait, termasuk OJK, Ombudsman
dan aparat penegak hukum segera mengambil langkah konkret dalam kasus ini, demi
menjaga kredibilitas sistem keuangan dan melindungi konsumen serta integritas
perbankan nasional. (*)