Opini oleh Anthony Budiawan
– Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Tom Lembong, Menteri Perdagangan periode 2015/2016,
dijadikan tersangka dalam kasus impor gula. Padahal, Tom Lembong terbukti tidak
korupsi, tidak mengambil uang negara.
Tetapi, Tom Lembong tetap dijadikan tersangka melakukan
tindak pidana korupsi. Dengan alasan, kebijakan Tom Lembong dalam pemberian
persetujuan impor gula (kristal mentah) menguntungkan pihak lain yang merugikan
keuangan negara.
Alasan Jaksa ini sangat janggal dan terkesan mengada-ada.
Kerugian keuangan negara harus diketahui secara pasti ketika penyidik
menetapkan seseorang melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Dalam
kasus Tom Lembong, ketentuan tersebut diabaikan. Hampir dapat dipastikan
penyidik tidak tahu apakah ada, dan berapa, kerugian keuangan negara ketika
menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka tindak pidana korupsi dan menahannya
pada 29 Oktober 2024.
Karena hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara
dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) baru selesai dan
disampaikan kepada Kejaksaan Agung pada 20 Januari 2025, seperti terungkap dari
surat laporan hasil audit BPKP kepada Kejaksaan Agung.
Ini menjadi fakta, telah terjadi penyimpangan prosedur dalam
menetapkan tersangka dan menahan Tom Lembong. Artinya telah terjadi
kriminalisasi terhadap Tom Lembong.
Lebih aneh lagi, BPKP katanya sudah ditugaskan untuk
menghitung kerugian keuangan negara sejak 11 Oktober 2023. Tetapi kenapa baru
selesai 20 Januari 2025? Proses audit yang sangat lama ini tidak masuk akal.
Pasti ada yang tidak beres. Nampaknya, BPKP tidak jujur. Diduga, tugas audit
kepada BPKP baru diberikan setelah Tom Lembong ditahan pada 29 Oktober 2024.
Hal ini harus diselidiki, apakah BPKP berbohong dan
merekayasa kapan proses audit penghitungan kerugian keuangan negara dimulai.
BPKP harus membuka kertas kerja audit kepada publik, atau setidak-tidaknya
kepada hakim dan pihak Tom Lembong.
Yang lebih memprihatinkan, hasil audit perhitungan kerugian
keuangan negara oleh BPKP tersebut mengandung cacat logika (logical fallacy)
dan cacat hukum yang sangat serius. Dalam arti, kerugian keuangan negara yang
ditetapkan BPKP tidak ada dasar hukumnya, dan secara substansi bukan merupakan
kerugian keuangan negara. Karena itu, hasil audit BPKP menjadi tidak sah secara
hukum dan harus ditolak.
Dalam hal ini, tim audit BPKP harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya yang terindikasi telah memanipulasi makna kerugian keuangan
negara. Perbuatan semacam ini masuk kategori pelanggaran pidana karena dengan
sengaja merekayasa opini, menyatakan ada kerugian keuangan negara, padahal semua yang disampaikan bukan merupakan
komponen kerugian keuangan negara.
Dugaan rekayasa perhitungan kerugian keuangan negara oleh
BPKP diuraikan sebagai berikut.
Pertama, BPKP menyatakan PT PPI membayar kemahalan dan
menjadi kerugian keuangan negara. BPKP berpendapat, PT PPI seharusnya membeli
gula menggunakan harga dasar atau HPP sebesar Rp8.900 per kg, sudah termasuk
PPN. Tetapi PT PPI membayar dengan harga Rp9.000 per kg, belum termasuk PPN.
Dalam hal ini, BPKP menyatakan harga beli PT PPI kemahalan dan merugikan
keuangan negara.
Pendapat BPKP tidak benar. Satu, tidak ada dasar hukum yang
mengatur harga dasar atau HPP gula adalah harga maksimum, dan harga beli gula
tidak boleh lebih tinggi dari HPP. Artinya, pendapat BPKP mengandung cacat
hukum yang sangat fatal.
Faktanya, realisasi harga rata-rata gula (dinamakan harga
lelang) bulanan sepanjang 2015 dan 2016 jauh lebih tinggi dari HPP. Apakah
artinya harga beli gula petani ini kemahalan dan merugikan keuangan negara?
Apakah PTPN dan PT RNI (tahun 2015 dan 2016), serta PT PPI (tahun 2015) yang
juga membeli gula petani dengan harga lebih tinggi dari HPP harus didakwa
merugikan keuangan negara?
Dua, BPKP berpendapat, HPP gula sebesar Rp8.900 per kg, yang
digunakan sebagai harga beli PT PPI tersebut, sudah termasuk PPN. Artinya, BPKP
berpendapat, HPP gula (tanpa pajak) riilnya hanya Rp8.090,91 per kg
(Rp8.900/1,1), dan angka ini yang dijadikan dasar menghitung kerugian keuangan
negara terkait “kemahalan harga”. Perhitungan BPKP ini menyesatkan. Tidak
benar.
Faktanya, harga gula yang dibeli dari petani tidak dipotong
PPN: Petani menerima nilai transaksi gula tanpa dipotong PPN, termasuk harga
lelang yang jauh lebih tinggi dari HPP, juga tidak dipotong PPN.
Artinya, pendapat BPKP bahwa harga beli gula PT PPI
seharusnya Rp8.090,91 per kg hanya ilusi, dan tidak berdasarkan fakta.
Artinya, pendapat bahwa telah terjadi kerugian keuangan
negara sebesar selisih antara harga beli (Rp9.000 per kg) dengan harga
“semestinya” tanpa PPN (Rp8.090,91 per kg) jelas tidak benar. Hal ini membuat
perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP cacat hukum dan tidak sah, dan
harus ditolak secara keseluruhan, demi keadilan.
Kedua, BPKP menghitung ada kekurangan bayar bea masuk yang
dianggap menjadi kerugian keuangan negara. BPK berpendapat, perusahaan gula
seharusnya membayar bea masuk untuk jenis gula kristal putih (GKP) dengan tarif
lebih tinggi dari gula kristal mentah (GKM), meskipun yang diimpor adalah GKM.
Perhitungan kerugian negara seperti ini sangat menyesatkan,
tidak sah, dan tidak dapat diterima, karena mengandung cacat logika (logical
fallacy) dan cacat hukum. Karena itu, perhitungan kerugian keuangan negara yang
dilakukan BPKP tidak sah secara hukum. Alasannya sebagai berikut.
Satu, barang yang diimpor adalah GKM, maka kewajiban bea
masuk harus dihitung berdasarkan jenis barang yang diimpor yaitu GKM, bukan
GKP. Dalam hal ini, perusahaan gula sudah membayar kewajiban bea masuk untuk
GKM sesuai peraturan perpajakan yang berlaku. Artinya, tidak ada kurang bayar
bea masuk, dan tidak ada kerugian keuangan negara. Dua, bea masuk merupakan
komponen biaya bagi perusahaan gula: bukan komponen keuntungan. Artinya, kurang
bayar bea masuk dianggap sebagai keuntungan perusahaan dan merugikan keuangan
negara merupakan kerangka berpikir yang menyesatkan dan sekaligus cacat hukum.
Oleh karena itu, menetapkan selisih antara bea masuk yang
dibayar untuk impor GKM dengan bea masuk “fiktif” GKP sebagai kurang bayar yang
merugikan keuangan negara tidak benar dan tidak sah secara hukum.
Ketiga, BPKP berpendapat, perusahaan gula kurang bayar pajak
(PPh) impor (pasal 22) dan PPN impor, dan dianggap kerugian keuangan negara.
Pendapat BPKP ini juga sangat menyesatkan. Ada dua alasan.
Satu, tarif yang dibayar untuk PPh impor dan PPN impor sudah
sesuai peraturan perpajakan, berdasarkan nilai CIF (harga GKM dan bea masuk).
Tetapi, BPKP berpendapat, sama seperti pada bea masuk, bahwa perusahaan gula
seharusnya membayar PPh impor dan PPN impor berdasarkan nilai “fiktif bahwa
yang diimpor seolah-olah GKP. Sangat menyesatkan. Tidak ada dasar hukum yang
mengatur seperti itu. Artinya, cacat hukum dan tidak sah.
Dua, PPh impor dan PPN impor merupakan pajak dibayar di
muka, yang harus diperhitungkan pada satu masa pajak. PPh impor diperhitungkan
(sebagai pengurang) pajak penghasilan perusahaan pada akhir tahun. PPN impor
diperhitungkan (dikreditkan) setiap bulan.
Artinya, dalam satu masa pajak, tidak ada kurang bayar PPh
impor dan PPN impor. Karena sudah dibayar sepenuhnya pada akhir masa pajak.
Dengan kata lain, pajak dibayar di muka (PPh impor dan PPN impor) hanya
berfungsi sebagai pajak sementara, bukan pajak akhir, sehingga tidak bisa
menjadi faktor kerugian keuangan negara.
Oleh karena itu, pendapat BPKP bahwa perusahaan gula kurang
bayar PPh impor dan PPN impor sangat tidak masuk akal dan menyesatkan, terlebih
lagi dinyatakan sebagai kerugian keuangan negara dan menguntungkan perusahaan.
Pendapat seperti ini sangat mengada-ada, dan merupakan rekayasa yang sangat
kasar.
Tiga, masalah pajak adalah masalah administratif dan menjadi
ranah sengketa pajak, bukan pidana. yang berwenang menetapkan kurang bayar
pajak dan bea masuk adalah Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai. Membawa sengketa
pajak menjadi pidana merupakan pelanggaran hukum yang sangat serius.
Berdasarkan uraian di atas, tidak ada satupun perhitungan
kerugian keuangan negara BPKP yang benar. Semua salah fatal. Tidak ada dasar
hukum atau peraturan yang melandasi perhitungannya.
Tim audit BPKP diduga telah melakukan rekayasa dalam
menetapkan kerugian keuangan negara dalam kasus impor gula Tom Lembong, dengan
menciptakan kerugian keuangan negara “fiktif”.
Perbuatan seperti ini masuk kategori perbuatan melawan hukum
dan dapat dipidana.
