Opini oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Menurut Jaksa Agung Hendarman Supandji, sebuah kasus dapat dikatakan sebagai kriminalisasi jika ada perbuatan yang bukan termasuk tindak pidana, kemudian dikriminalkan. Penjelasan tersebut memberi kesimpulan penting. Bahwa, kriminalisasi adalah sebuah pemaksaan terhadap status hukum seseorang.
Seseorang dikriminalkan ketika yang bersangkutan tidak melakukan pelanggaran pidana, tetapi kemudian dicari-cari seolah-olah melakukan pelanggaran pidana, dengan memberi tuduhan dan alasan-alasan yang bahkan tidak masuk akal dan melanggar nurani.
Dalam hal ini, penguasa menjelma menjadi hukum itu sendiri: I am the state, I am the law, L'État, c'est moi. Karena, penguasa menjalankan hukum menurut kehendaknya secara sewenang-wenang, alias tirani.
Oleh karena itu, dalam negara hukum seperti Indonesia, kriminalisasi kasus hukum termasuk kategori tindakan kriminal yang mencederai kebenaran dan perjuangan penegakan hukum, karena dilakukan untuk menghukum seseorang yang tidak melanggar pidana.
Berdasarkan definisi ini, maka penahanan Tom Lembong sejak 29 Oktober 2024 (dan delapan pejabat perusahaan gula rafinasi sejak 20 Januari 2025) merupakan bentuk nyata kriminalisasi terhadap yang bersangkutan.
Karena, Tom Lembong sejatinya tidak melakukan pelanggaran pidana dalam pemberian persetujuan izin impor gula kristal mentah (GKM) kepada delapan perusahaan gula swasta untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP). Sebaliknya, Tom Lembong telah menyelamatkan industri gula (kristal putih) nasional dari krisis gula, serta menguntungkan perekonomian negara.
Pertama, tidak ada peraturan yang melarang impor gula dilakukan dalam bentuk GKM untuk diolah menjadi GKP. Tetapi, Jaksa mencari-cari, bahwa impor gula wajib dilakukan dalam bentuk GKP, dengan menggunakan dasar hukum Pasal 4 Permendag No 117/2015. Padahal, bunyi pasal ini BUKAN melarang impor GKM. Tetapi, pembatasan impor GKP, yang hanya dapat dilakukan dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.
Alasan Jaksa ini merupakan bentuk pemaksaan, dari tidak ada pelanggaran peraturan, apalagi pelanggaran pidana, tetapi dipaksa untuk ada pelanggaran peraturan dan pidana.
Kedua, Tom Lembong tidak menerima suap dari pihak manapun. Dalam hal ini, Tom Lembong tidak melakukan pelanggaran pidana. Tetapi, Jaksa mencari-cari celah pidana. Jaksa bermanuver, pemberian persetujuan impor GKM kepada delapan perusahaan gula rafinasi untuk diolah menjadi GKP telah menguntungkan pihak lain yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Ketiga, sejauh ini tidak ada bukti kerugian keuangan negara. BPKP (Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan) kemudian ditugaskan untuk melakukan audit investigasi untuk penghitungan kerugian keuangan negara. Laporan selesai 20 Januari 2025. Dan pada hari itu juga, delapan pejabat tinggi perusahaan gula rafinasi ditahan. Mereka menjadi korban, victim, atau tumbal untuk kriminalisasi Tom Lembong.
Keempat, perhitungan kerugian keuangan negara hasil audit investigasi BPKP sangat tidak masuk akal dan melanggar nurani.
BPKP berpendapat harga gula yang dibeli PT PPI dari perusahaan gula rafinasi sebesar Rp9.000 per kg kemahalan, sehingga merugikan keuangan negara. BPKP menganggap PT PPI seharusnya membeli dengan harga dasar sebesar Rp8.900 per kg. Artinya, BPKP menganggap harga dasar adalah harga maksimum.
Alasan kemahalan harga ini jelas mengada-ada dan tidak masuk akal, dan melanggar nurani. Harga dasar jelas bukan merupakan harga maksimum. Sebaliknya, harga dasar seharusnya berfungsi sebagai harga minimum.
Selain itu, harga dasar gula hanya berlaku untuk harga gula ex tebu dari petani, karena prinsip harga dasar adalah untuk melindungi pendapatan petani, sehingga tidak berlaku untuk harga gula (kristal putih) yang berasal dari GKM.
Kemudian, faktanya, PTPN dan PT RNI (keduanya adalah BUMN), juga membeli gula dengan harga (lelang) di atas harga dasar sepanjang tahun 2015-2016. Bahkan harga (lelang) gula rata-rata bulan Mei dan Juni 2016 mencapai 50 dan 54 persen di atas harga dasar.
Sekali lagi, seperti dikatakan Jaksa Agung Hendarman Supandji, kriminalisasi merupakan pemaksaan status hukum seseorang dengan memberi tuduhan dan alasan-alasan yang tidak masuk akal dan melanggar nurani. Karena itu, hasil audit BPKP yang tidak masuk akal tersebut masuk kategori kriminalisasi terhadap Tom Lembong dan delapan perusahaan gula rafinasi.
Kelima, BPKP menyatakan ada kurang bayar bea masuk, pajak impor (PPh 22), dan PPN impor sehingga merugikan keuangan negara. Padahal, perusahaan gula rafinasi sudah membayar semua kewajiban perpajakannya, baik bea masuk, pajak impor dan PPN impor sesuai dengan produk yang diimpor yaitu GKM.
Tetapi, BPKP berpendapat, perusahaan gula rafinasi seharusnya membayar bea masuk dan pajak (dalam rangka impor) seolah-olah produk yang diimpor adalah GKP, meskipun yang diimpor adalah GKM.
Alasan ini jelas sangat, sangat tidak masuk akal. Bahkan cenderung “gila”. Bagaimana seseorang impor produk A (GKM) disuruh bayar bea dan pajak untuk produk B (GKP)? Apakah ini bukan sebuah kegilaan?
Uraian di atas menunjukkan telah terjadi kriminalisasi terhadap Tom Lembong dan delapan perusahaan gula rafinasi, melalui audit investigasi BPKP yang tidak masuk akal dan melanggar nurani, untuk mencari-cari pelanggaran pidana yang sebenarnya tidak ada.
Sekali lagi, penahanan Tom Lembong sejak 29 Oktober 2024 merupakan bentuk nyata kriminalisasi seperti dijelaskan di atas. Karena, pada saat itu, tidak ada bukti pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Tom Lembong: tidak ada bukti menerima suap, dan tidak ada bukti merugikan keuangan negara.
Pertanyaannya, apakah kriminalisasi terhadap Tom Lembong dan delapan perusahaan gula rafinasi ini akan terus berlanjut?
Semoga majelis hakim dapat menghentikan “kegilaan” ini, dan mengembalikan Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan hukum yang berlaku, bukan negara kekuasaan: L'État, c'est moi.