Polri Umumkan Ijazah Jokowi Asli, Abaikan Prosedur Hukum?

Polri Umumkan Ijazah Jokowi Asli, Abaikan Prosedur Hukum?

Opini oleh: Muslim Arbi- Direktur Gerakan Perubahan

Langkah Bareskrim Polri yang mengumumkan hasil laboratorium atas ijazah Presiden Joko Widodo sebagai dokumen asli memicu reaksi keras di kalangan masyarakat. Tindakan tersebut dinilai tidak hanya melampaui kewenangan, tetapi juga berpotensi melanggar peraturan hukum yang dibuat oleh institusi kepolisian sendiri.

Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana—yang merupakan pembaruan dari Perkap No. 14 Tahun 2012—hasil laboratorium memang dapat menjadi bagian dari alat bukti dalam proses penyidikan. Namun, alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP semestinya diproses dan dipertimbangkan dalam forum pengadilan, bukan diumumkan sepihak kepada publik.

Perlu diingat, saat ini ijazah Presiden Jokowi tengah menjadi obyek gugatan hukum oleh Dr. M. Taufik di Pengadilan Negeri Solo. Oleh karena itu, hasil laboratorium seharusnya diserahkan kepada pengadilan sebagai bagian dari pembuktian dalam proses peradilan yang sah. Ketika kepolisian mengambil langkah mengumumkan hasil tersebut ke publik, sebelum adanya putusan pengadilan, maka mereka berisiko melangkahi kewenangan hakim dan jaksa.

Konferensi pers yang digelar Bareskrim ini patut dipertanyakan dari sisi legalitas. Alih-alih membantu proses hukum secara objektif, tindakan ini justru dapat diartikan sebagai bentuk intervensi terhadap jalannya persidangan. Lebih jauh lagi, pernyataan Bareskrim ini berpotensi dianggap tidak memiliki kekuatan hukum, karena tidak dikeluarkan melalui mekanisme yuridis yang sah.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah Polri masih mampu bersikap netral dan tegak lurus di atas hukum? Jika kepolisian tak lagi tunduk pada regulasi internal dan KUHAP, maka publik berhak mempertanyakan integritas lembaga ini. Bahkan, tidak sedikit suara di masyarakat yang mulai mempertimbangkan perlunya reformasi total, atau bahkan pembubaran Polri, bila institusi ini justru menjadi alat kekuasaan, bukan penegak hukum yang independen.

Lebih mengkhawatirkan lagi, langkah ini justru menempatkan Polri dalam posisi rawan: sebagai lembaga yang bukan hanya kehilangan kepercayaan publik, tetapi juga sebagai aktor yang diduga membela penguasa secara membabi buta. Hal ini tentu berbahaya dalam konteks demokrasi dan supremasi hukum.

Pertanyaannya kini, apakah tindakan ini mencerminkan arah kebijakan Presiden terpilih Prabowo Subianto? Ataukah ini merupakan inisiatif internal Polri yang keliru dalam membaca peran dan batas kewenangannya? Publik berhak mendapat jawaban yang jujur dan transparan.

Leles, Garut – 23 Mei 2025

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال