Janji-Janjimu, Luka Kami: Antara Harapan dan Realitas Pemerintahan Jokowi

Janji-Janjimu, Luka Kami: Antara Harapan dan Realitas Pemerintahan Jokowi

Opini oleh Muslim Arbi - Pengamat Politik

Di berbagai grup WhatsApp, nama Presiden Joko Widodo kembali menjadi topik hangat. Bukan karena prestasi yang membanggakan, melainkan karena sejumlah janji yang dianggap tidak ditepati dan kebijakan yang dinilai menyusahkan rakyat. Ungkapan kekecewaan ini mencuat dari berbagai kalangan yang merasa bahwa selama hampir dua periode pemerintahan Jokowi, harapan yang dulu pernah ditanam, kini berubah menjadi keresahan.

Masyarakat ramai memperbincangkan apa yang mereka sebut sebagai “daftar hoaks” Jokowi—pernyataan-pernyataan yang sempat dilontarkan namun tak kunjung menjadi kenyataan. Dari klaim dana pembangunan Rp11.000 triliun, produksi massal mobil Esemka, hingga janji tidak menaikkan harga BBM, semuanya kini dianggap sebagai angin surga belaka. Bahkan pernyataan bahwa proyek kereta cepat Jakarta–Bandung tidak menggunakan dana APBN, dan bahwa ratusan investor siap membangun Ibu Kota Nusantara, mulai diragukan validitasnya.

Lebih menyakitkan lagi, berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah selama satu dekade terakhir justru dinilai semakin memberatkan rakyat. Harga BBM, listrik, LPG, hingga sembako terus merangkak naik. Pajak melonjak, namun pendapatan masyarakat tak sebanding. Tenaga kerja dibanjiri sistem outsourcing, guru honorer tetap digaji rendah, dan para pencari kerja harus bersaing di tengah laju PHK yang terus meningkat.

Berbagai subsidi dicabut, dari pupuk hingga listrik, membuat beban rakyat makin berat. Sementara itu, dugaan korupsi bansos, pelemahan KPK, hingga penangkapan ulama dan aktivis menambah deretan kekhawatiran publik akan arah demokrasi dan keadilan hukum.

Tak sedikit pula yang merasa bahwa janji-janji kampanye Jokowi hanya menjadi alat politik, bukan komitmen moral. Misalnya janji membentuk kabinet profesional, tidak bagi-bagi jabatan, dan memperkuat lembaga penegak hukum. Faktanya, komposisi kabinet masih didominasi oleh kompromi politik, dan KPK justru dianggap mengalami kemunduran drastis.

Kritik keras ini bukan tanpa dasar. Ketika rakyat merasa dijanjikan terlalu banyak namun tidak merasakan perubahan nyata di kehidupan sehari-hari, rasa kecewa akan mudah berubah menjadi sinisme. Muncullah pertanyaan besar: apakah narasi “kerja, kerja, kerja” yang selalu digaungkan benar-benar membawa perubahan substantif, atau sekadar menjadi slogan kampanye?

Dalam demokrasi, pemimpin seharusnya siap dikritik. Namun lebih dari itu, pemimpin juga harus bertanggung jawab pada kata-katanya. Karena bagi rakyat, janji bukan sekadar retorika—ia adalah harapan. Dan ketika harapan itu dikhianati, luka yang ditinggalkan bisa sangat dalam.

Sudah waktunya rakyat menagih akuntabilitas, bukan hanya popularitas. Karena pemimpin bukan hanya soal pencitraan, tapi keberanian menepati janji dan berpihak pada kepentingan rakyat. Jika tidak, sejarah akan mencatat bukan tentang keberhasilan pembangunan fisik, melainkan tentang kepercayaan yang dikhianati.
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال