Oleh : Ikhlas Arsyad
Sejak awal masa jabatan, pemerintahan ASR menghadapi berbagai dinamika politik dan sorotan publik yang relatif intens. Dalam perspektif ilmu administrasi publik, kondisi tersebut merupakan bagian dari siklus pemerintahan, terutama pada fase awal kepemimpinan ketika ekspektasi publik berada pada titik tertinggi (Dunn, 2018). Namun, tekanan yang terus berulang dapat menjadi indikator adanya persoalan dalam pengelolaan komunikasi dan manajemen isu pemerintah daerah.
Menurut teori issue management yang dikemukakan oleh Chase (1984), pemerintah dituntut untuk mampu mengidentifikasi, memantau, dan merespons isu strategis sebelum berkembang menjadi krisis. Kegagalan dalam menyediakan klarifikasi yang cepat dan berbasis data akan membuka ruang bagi terbentuknya opini publik yang tidak sepenuhnya berimbang. Dalam konteks pemerintahan ASR, ketiadaan mekanisme klarifikasi yang terstruktur berpotensi memperkuat narasi yang menyudutkan kepala daerah.
Lebih lanjut, Grunig dan Hunt (1984) melalui model two-way symmetrical communication menegaskan bahwa komunikasi publik yang efektif harus bersifat dialogis, bukan satu arah. Pemerintah tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menanggapi kritik dan persepsi publik secara terbuka. Ketika komunikasi pemerintah cenderung pasif atau defensif, maka hubungan antara pemerintah dan masyarakat menjadi timpang dan berisiko menurunkan tingkat kepercayaan publik.
Dari sudut pandang teori legitimasi (Suchman, 1995), kepala daerah sebagai simbol institusi pemerintahan sangat bergantung pada penerimaan sosial (social acceptance). Isu yang tidak dikelola dengan baik dapat menggerus legitimasi, meskipun kebijakan substantif yang dijalankan relatif berjalan. Dengan demikian, legitimasi politik tidak hanya ditentukan oleh capaian program, tetapi juga oleh kemampuan pemerintah menjelaskan dan mempertanggungjawabkan setiap kebijakan kepada publik.
Dalam kerangka good governance, transparansi dan akuntabilitas merupakan prinsip utama (UNDP, 1997). Klarifikasi kebijakan seharusnya dipahami sebagai bagian dari akuntabilitas publik, bukan sebagai upaya pembenaran. Oleh karena itu, keberadaan tim komunikasi atau tim klarifikasi yang profesional menjadi kebutuhan struktural dalam pemerintahan modern.
Berdasarkan uraian tersebut, tantangan pemerintahan ASR tidak semata terletak pada kompleksitas persoalan yang dihadapi, melainkan pada perlunya penguatan manajemen isu dan sistem komunikasi publik. Dengan memperkuat fungsi klarifikasi yang berbasis teori dan praktik tata kelola pemerintahan yang baik, pemerintah daerah dapat mengendalikan arus informasi, menjaga legitimasi kepemimpinan, serta memastikan penilaian publik dibangun atas dasar informasi yang komprehensif dan berimbang.
Epilog Akademik
Dalam kerangka tersebut, dinamika yang tengah dihadapi pemerintahan ASR sejatinya masih berada dalam ruang yang dapat dikelola dan diarahkan secara sistematis. Literatur tata kelola pemerintahan menunjukkan bahwa perubahan arah persepsi publik bukanlah persoalan mustahil, sepanjang didukung oleh desain kelembagaan komunikasi yang tepat serta konsistensi dalam pengelolaan isu strategis.
Sejumlah pendekatan konseptual—mulai dari issue management, komunikasi simetris, hingga penguatan legitimasi institusional—menawarkan peluang untuk melakukan reposisi narasi pemerintahan secara elegan dan berkelanjutan. Namun, efektivitas pendekatan tersebut mensyaratkan adanya kemauan untuk membaca situasi secara reflektif dan membuka ruang integrasi antara praktik pemerintahan dan pemikiran kebijakan.
Dalam konteks ini, perubahan bukan semata bergantung pada momentum politik, melainkan pada kemampuan merumuskan strategi komunikasi yang presisi dan berbasis pengetahuan. Ruang tersebut, secara akademik, tetap terbuka dan dapat dioptimalkan untuk mengarahkan kembali relasi antara pemerintah dan publik ke arah yang lebih konstruktif.
Redaksi kasuaritv.com
