Cirateun Kota Bandung Dampak Kerusakan Mentalitas Kepemimpinan yang Sulit Dibendung

Cirateun Kota Bandung Dampak Kerusakan Mentalitas Kepemimpinan yang Sulit Dibendung

Opini oleh Damai Hari Lubis - Pengamat Hukum, Jurnalis dan Advokat

 

Fakta dampak kerusakan moral politik bertambah, akibat pembiaran ala revolusi mental yang diprogram oleh pemimpin yang cacat mental, otomatis menjalar terhadap kerusakan lingkungan hidup.

 

Akibatnya, masalah lingkungan sering kali baru dianggap serius ketika korban berjatuhan. Padahal, hukum tidak pernah menunggu jatuhnya korban untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai pelanggaran. Inilah yang terjadi dalam kasus dugaan pencemaran udara akibat pengolahan limbah plastik di Cirateun, Kota Bandung—sebuah peristiwa yang memperlihatkan benturan antara kesabaran warga dan kelambanan negara.

 

Rekan Jurnalis Senior dari Jawa Barat Ali Syarief, yang tinggal di Bandung, lama sudah merekam langsung aktivitas yang diduga mencemari lingkungan.

 

Keberadaan rekaman video itu bukan rekayasa atau kiriman orang lain, melainkan dokumentasi pribadi atas realitas yang ia hirup setiap hari. Namun alih-alih substansi pencemaran yang disorot, pertanyaan justru bergeser: video dari siapa, jam berapa kejadiannya. Pertanyaan administratif yang secara moral terasa banal ketika berhadapan dengan ancaman racun di udara.

 

Ali menolak logika terbalik tersebut. Baginya, persoalan utama bukan siapa pengirim video, melainkan pelanggaran hukum yang nyata. Limbah plastik yang dibakar atau diolah tanpa standar bukan sekadar gangguan kenyamanan, tetapi kejahatan lingkungan yang merampas hak warga atas udara bersih dan sehat.

 

Secara hukum, dugaan pelanggaran ini berdiri di atas dasar yang kuat.

 

Pertama, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketika udara dipenuhi asap beracun, hak konstitusional warga telah dilanggar, bahkan sebelum ada diagnosa ISPA.

 

Kedua, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) memberi batas yang jelas.

 

Pasal 69 ayat (1) huruf a dan b melarang setiap orang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

 

Pasal 98 dan 99 mengatur sanksi pidana bagi pelaku pencemaran, baik yang disengaja maupun karena kelalaian, dengan ancaman pidana penjara dan denda miliaran rupiah.

 

Bahkan tanpa korban langsung, potensi bahaya sudah cukup untuk menjerat pelaku.

 

Ketiga, dari aspek teknis, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa setiap kegiatan yang menimbulkan emisi wajib memenuhi baku mutu udara ambien dan emisi. Aktivitas pengolahan limbah plastik tanpa pengendalian emisi yang laik adalah pelanggaran administratif sekaligus pidana.

 

Keempat, di tingkat lokal, Peraturan Daerah Kota Bandung tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Lingkungan Hidup (termasuk perda pengelolaan sampah dan limbah) dengan jelas melarang pembakaran atau pengolahan limbah yang mencemari udara dan mengganggu kesehatan masyarakat. Pelanggaran perda bukan persoalan kecil—ia adalah pintu masuk penegakan hukum yang paling dekat dengan warga.

 

Namun negara kerap berlindung di balik frasa “menunggu hasil uji emisi”. Seolah-olah selama hasil itu belum keluar, racun boleh tetap dihirup. Padahal hukum lingkungan menganut prinsip kehati-hatian (precautionary principle): ketika ada dugaan kuat bahaya serius terhadap lingkungan dan kesehatan, penghentian sementara kegiatan adalah kewajiban, bukan opsi.

 

Ali menyampaikan kemarahannya dengan sarkas yang pahit: mengundang lurah, camat, dan pejabat dinas lingkungan hidup untuk tinggal bersamanya, menghirup udara yang sama, membawa anak dan istri mereka. Sebuah sindiran keras tentang empati yang hilang dari birokrasi. Negara yang baik bukan negara yang menunggu warganya sakit, tetapi negara yang mencegah warganya diracun.

 

Ketika jalur administratif terasa buntu, Ali menyatakan akan membawa isu ini ke tingkat yang lebih luas: pers, WALHI, bahkan Greenpeace. Langkah ini bukan berlebihan. Pencemaran plastik adalah kejahatan lintas batas, musuh global yang dibenci dunia. Ia merusak udara, tanah, dan masa depan generasi berikutnya. Dalam konteks ini, Cirateun bukan lagi sekadar nama kampung—ia adalah cermin kecil dari kegagalan besar.

 

Lebih jauh, Ali mengingatkan bahwa perusakan lingkungan bukan hanya pelanggaran hukum positif, tetapi juga pelanggaran moral dan agama. Semua ajaran agama menolak perusakan bumi. Maka ketika hukum negara lamban, nurani seharusnya bergerak lebih cepat.

 

Kasus ini pada akhirnya bukan soal video, bukan soal siapa bertanya solusi kepada siapa. Ini soal negara yang diuji keberpihakannya: berpihak pada warga yang ingin menghirup udara bersih, atau pada pelaku yang berlindung di balik izin setengah matang dan prosedur yang diperlambat.

 

Jika hukum tetap diabaikan, maka benar kata Ali, "perkara ini tak akan berhenti di tingkat RT, RW, atau kelurahan. Ia akan naik, terus naik—hingga hukum dipaksa berbicara, dan negara tak lagi bisa pura-pura tidak mencium bau racun di udara."

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال