Opini: Stop Isu Prematur dan Tendensius: Saatnya Membangun Narasi Konstruktif untuk Kepemimpinan Sultra

Opini: Stop Isu Prematur dan Tendensius: Saatnya Membangun Narasi Konstruktif untuk Kepemimpinan Sultra

 

Oleh: Akril Abdillah || Visioner Indonesia 

Dalam setiap dinamika politik daerah, isu selalu hadir bak bayangan yang mengikuti langkah seorang pemimpin. Namun ketika isu itu dibangun tanpa dasar, disebar tanpa verifikasi, dan digoreng dengan tujuan menggiring opini publik, maka yang muncul bukan kritik, melainkan distorsi yang merusak tatanan kepemimpinan.


Dalam kajian komunikasi politik, Harold Lasswell (1948) menegaskan bahwa fungsi utama komunikasi publik adalah “to inform, to educate, and to persuade based on truth.” Namun, ketika komunikasi publik dipelintir menjadi alat propaganda dan penyebaran isu tanpa dasar, maka yang muncul bukan lagi pendidikan politik, melainkan pembusukan rasionalitas publik.


Belakangan ini, publik dihebohkan dengan kabar bahwa Gubernur Sulawesi Tenggara akan berhenti di tengah jalan karena kasus tertentu. Narasi seperti ini jelas prematur, tendensius, dan dangkal secara akademis. 

Dalam terminologi sosiologi komunikasi, ini adalah bentuk manufactured consent (Chomsky, 1997) opini publik yang sengaja diciptakan untuk menggiring persepsi dan menciptakan ketegangan politik.


Ini tidak hanya mengaburkan fakta, tetapi juga menimbulkan persepsi yang keliru di tengah masyarakat, serta berpotensi menciptakan jarak emosional antara Gubernur dan Wakil Gubernur Hugua yang tengah bekerja menjalankan amanah rakyat.


Kita harus jujur mengakui, penyebaran isu tanpa dasar semacam ini bukan kali pertama terjadi. Gubernur kerap menjadi sasaran empuk bagi pihak-pihak yang kalah secara moral dan gagal secara etis. Beberapa waktu lalu, sempat muncul isu bahwa rumah dan kantor Gubernur digeruduk tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (satgas PKH), padahal setelah ditelusuri, lokasi tersebut ternyata kantor salah satu perusahaan tambang di kawasan Citraland, bukan rumah pribadi, kantor resmi Gubernur atau kantor perusahaan TMS. Fakta ini menunjukkan adanya pola yang sistematis membangun rumor untuk melemahkan citra pemimpin.


Ironisnya, sebagian pihak mencoba menunggangi isu ini dengan membangun “asa kosong” terhadap figur Wakil Gubernur Hugua. Padahal langkah semacam ini bukan hanya tidak etis, tetapi juga kontraproduktif. Kepemimpinan daerah adalah hasil kolaborasi, bukan kompetisi terselubung. Menyebar rumor hanya akan membuat keduanya tidak nyaman, serta menurunkan moral birokrasi yang tengah bekerja untuk rakyat.


Kita perlu menyadari bahwa di era digital ini, isu bisa menyebar lebih cepat daripada kebenaran. Karena itu, tanggung jawab moral masyarakat, aktivis, akademisi, dan media adalah menjadi penyaring informasi, bukan penyebar sensasi. Menyampaikan kritik adalah hal yang mulia, tetapi kritik yang sehat harus lahir dari data yang terukur, argumentasi yang rasional, dan niat tulus untuk memperbaiki.


Sebaliknya, membangun narasi ilusi atau “asa halu” terhadap figur tertentu termasuk kepada Wakil Gubernur hanya akan menimbulkan gesekan emosional dan mengikis kepercayaan publik terhadap kesatuan kepemimpinan daerah. Padahal, kekuatan kepemimpinan kolektif adalah fondasi penting dalam menggerakkan roda pembangunan.


Mari kita hentikan budaya “politik rumor” yang justru melemahkan kepercayaan publik. Sulawesi Tenggara tidak membutuhkan perpecahan, tetapi membutuhkan soliditas, kolaborasi, dan kepercayaan antar-elit dan masyarakatnya. Kritik boleh, bahkan harus, tetapi harus berbasis data, logika, dan tanggung jawab intelektual.


Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat mengubah arah energi publik dari menyebar isu negatif menjadi membangun gagasan positif dan solusi nyata. Kita semua memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga wibawa pemerintahan dan kehormatan daerah. Sebab, di tengah tantangan ekonomi dan sosial yang kompleks, yang dibutuhkan bukanlah perpecahan, melainkan kebersamaan untuk melangkah maju.


Gubernur dan Wakil Gubernur adalah representasi rakyat yang sedang berjuang menjalankan amanah. Beri mereka ruang untuk bekerja, bukan dirundung oleh spekulasi. Karena pada akhirnya, yang akan diukur oleh sejarah bukanlah siapa yang menyebar isu, tetapi siapa yang bekerja nyata untuk rakyatnya.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال