Opini Rachman Salihul Hadi
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) awalnya
digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi masalah stunting dan meringankan
beban ekonomi keluarga. Namun, niat baik itu kini justru berubah menjadi mimpi
buruk. Alih-alih menjadi kebijakan publik yang membawa manfaat nyata, program
ini lebih tampak sebagai proyek pencitraan politik yang dipaksakan. Ketika
kebijakan diluncurkan tergesa-gesa, tanpa pengawasan kualitas yang memadai dan
tata kelola yang transparan, dampaknya bukan hanya reputasi yang rusak, tetapi
juga nyawa dan kesehatan anak-anak yang menjadi taruhan.
Fakta di lapangan berbicara lantang. Ribuan siswa dilaporkan mengalami keracunan setelah menyantap makanan
dari program MBG. Angka ini bukan sekadar data di atas kertas. Kita bicara
tentang ruang kelas yang mendadak jadi ruang darurat, tentang orang tua yang
panik karena anaknya sakit, dan tentang generasi muda yang masa depannya bisa
terganggu akibat lalainya sebuah kebijakan. Situasi ini jelas membutuhkan lebih
dari sekadar klarifikasi teknis, kita butuh pertanggungjawaban penuh dari pihak
yang menjalankan program ini.
Masalah MBG bukan hanya soal teknis penyajian atau distribusi
makanan. Masalah utamanya ada pada cara program ini dipaksakan ke publik. Dari
awal, MBG lebih terlihat sebagai pemenuhan janji kampanye dan alat pencitraan
politik ketimbang program kesehatan masyarakat yang dirancang matang. Target
ambisius diumumkan dengan cepat, anggaran besar digelontorkan, tetapi persiapan
akuntabilitas, audit independen, dan kemampuan pelaksana di lapangan tidak
sebanding. Akibatnya, kualitas diabaikan, dan anak-anaklah yang akhirnya
menjadi korban.
Yang lebih ironis, pemerintah masih bertahan dengan narasi
keberhasilan seolah semua baik-baik saja, sambil menutup mata terhadap
kegagalan operasional di lapangan. Memang ada langkah perbaikan setelah masalah
muncul dengan menutup dapur yang tidak layak, melarang menu tertentu, atau
meningkatkan pengawasan. Tetapi, kebijakan publik tidak boleh berjalan dengan
pola “belajar dari krisis”. Seharusnya sejak awal, desain kebijakan dilakukan
dengan penuh kehati-hatian, bukan menunggu anak-anak jadi korban baru bertindak.
Lebih parah lagi, ada narasi yang menyebut kasus keracunan ini
hanyalah “insiden kecil” dibanding jumlah porsi yang berhasil disalurkan. Cara
pandang seperti ini sangat berbahaya. Keselamatan dan kesehatan anak-anak tidak
bisa diukur dengan kalkulasi politik atau sekadar hitungan statistik. Dalam
negara demokrasi yang sehat, hak dasar warga, terutama anak-anak, tidak boleh
menjadi taruhan. Karena itu, langkah yang paling masuk akal saat ini adalah
menghentikan sementara program, melakukan evaluasi mendalam, audit independen,
lalu memperbaikinya sebelum dipaksakan berjalan kembali. Menunda hal ini sama
saja mempertaruhkan masa depan generasi bangsa.
Perlu digarisbawahi, kritik ini bukan berarti menolak tujuan
mulia dari program makan bergizi. Justru sebaliknya, tujuan memberi asupan
sehat bagi anak-anak sangat penting dan harus terus didukung. Namun, caranya
harus benar. Program semacam ini harus disiapkan dengan uji coba terbatas,
dapur dan pemasok yang tersertifikasi, pengawasan independen yang ketat, serta
mekanisme kompensasi cepat jika terjadi masalah. Tanpa itu semua, niat baik
bisa dengan mudah berubah jadi tragedi berulang.
Pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan
hanya perbaikan teknis, tetapi juga akuntabilitas politik.
Pihak-pihak yang menjadikan MBG sebagai alat pencitraan harus berani
bertanggung jawab atas konsekuensinya. Generasi anak-anak kita bukan alat
kampanye. Mereka adalah masa depan bangsa. Jika MBG terus dijalankan hanya
sebagai proyek politik tanpa perbaikan serius, akibatnya bisa sangat fatal:
generasi muda kehilangan kesempatan untuk tumbuh sehat, cerdas, dan produktif.
Dan kita tidak boleh diam menyaksikan hal itu terjadi.
*) Pemimpin redaksi/ Pengamat Sosial