Oleh Shamsi Ali Al-Newyurki
Esensi hidayah sesungguhnya ada pada kemampuan mengambil “makna” dari segala sesuatu dalam kehidupan ini. Ketika Allah menciptakan Adam, Allah mengajarkan padanya “nama-nama semuanya”. Kata nama-nama (asmaa) dimaknai sebagai kesiapan manusia memahami makna-makna kehidupan.
Ketika sebuah gedung misalnya dinamai “masjid”, apa makna yang dipahami? Gedung dengan kuba dan menara kah? Atau jamaah yang sujud ruku’ dalam ketaatan? Makna yang ditangkap dari kata masjid itulah yang menentukan cara pandang dan sikap seseorang terhadap Masjid.
Demikian pula kehidupan manusia secara menyeluruh. Apa makna yang dipahami oleh h setiap orang yang menjalaninya. Mungkin ada yang memaknainya sebagai “material” dengan mengumpulkan materi sebanyak mungkin. Bagi mereka itulah makna kehidupan. Dan pemahaman makna itulah pula yang akan mewarnai hidupnya.
Demikian pula dalam memahami agama dan petunjuk. Ketika membaca Al-Quran misalnya, apakah kita membaca huruf-huruf, kata dan kalimat semata? Atau dibalik bacaan itu kita memahami makna-makna. Makna-makna inilah sesungguhnya esensi dari hidayah Al-Quran.
Sejarah dalam Al-Qur’an
Salah satu kandungan dengan porsi terbesar Al-Quran adalah sejarah. Sekitar dua pertiga kandungannya adalah sejarah. Sejarah para nabi (Adam, Nuh, Musa, Isa dan Muhammad) dan orang-orang yang melawan kebenaran (Fir’aun, Tsamud, Abu Lahab, dll.). Juga sejarah bangsa-bangsa (‘Ad, Tsamud, Mesir Kuno) dan lainnya. Satu di antara sejarah yang paling sering terulang dalam Al-Quran adalah sejarah Musa (AS) dan Fir’aun (la’natullah alaih).
Fir’aun bukan nama. Tapi sebuah gelar dari seseorang yang berkarakter “thogut” (innahu Thogaa). Kata “thoghyaan” dimaknai sebagai seseorang yang zholim, otoritarian, melampaui batas, dan seterusnya. Fir’aun bahkan dengan kesombongannya mengaku tuhan tertinggi (Rabbukum al-a’laa).
Namun satu kejahatan Fir’aun yang dicatat oleh Al-Quran adalah “membantai anak-anak berjenis laki dan membiarkan anak-anak perempuan hidup”. Kejahatan ini dilakukan karena ketakutan terhadap hadirnya seseorang yang akan menantangnya (to challenge) dan menumbangkan kekuasaannya.
Di tengah kejahatan Fir’aun itu dan penderitaan Bani Israil yang diperbudak olehnya Allah mengutus seorang hambaNya untuk menantang (to challenge) dan membawa perubahan (to change). Kehadiran Musa bertujuan menyelematkan bangsanya dari perbudakan dan kejahatan Fir’aun. Allah memerintahkannya: “pergilah kamu ke Fir’aun. Sungguh fir’aun adalah seseorang yang melampaui batas”.
Fir’aun Masa Kini.
Sebagaimana disebutkan terdahulu, kata Fir’aun bukan sebuah nama. Tapi gelar seseorang karena perilaku yang melampaui batas. Dan sejarah secara alami berulang, baik dengan format yang sama atau tidak, namun memiliki konsekuensi buruk yang sama. Sejarah Fir’aun nampaknya berulang dari waktu ke waktu, termasuk di masa kini.
Bahkan terasa kejahatan Fir’aun masa kini jauh lebih dahsyat ketimbang Fir’aun zaman Musa. Jika Fir’aun zaman Musa membantai anak-anak pria, Fir’aun masa kini justeru membantai semua anak-anak, wanita, orang tua. Bahkan menghancurkan infrastruktur seperti rumah-rumah, sekolah, rumah sakit, bahkan masjid-masjid dan gereja.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah jika di masa Fir’aun kuno Allah mengutus seorang nabi Musa, lalu siapa figur Musa yang akan tampil di masa kini? Musa yang bukan seorang nabi. Tapi seorang Musa yang akan hadir menantang Fir’aun masa kini itu. Fir’aun yang termanifestasi dalam segala tingkatannya; kota, negara dan dunia. Dan berdampak pada segala aspek kehidupan manusia; politik, ekonomi, dan seterusnya.
Karenanya prilaku Fir’aun yang saya sebut “fir’aunistik” itu menjelma dalam bentuk prilaku politik yang otoritarian dan zholim, prilaku ekonomi yang memeras, dan seterusnya. Di sinilah Musa diharapkan hadir dan mampu menantang (to challenge) dan merubah (to change) prilaku fir’aunistik itu pada segala tingkatan dan bentuknya.
Karakteristik Musa yang diharapkan
Musa yang dimaksud adalah sosok pemimpin yang akan menantang dan merubah prilaku Fir’aunis dunia. Pemimpin tersebut hendaknya memiliki 4 karakteristik dasar:
Pertama, memiliki apa yang disebut sifat “amanah” (al-amanah). Di mana dia di mata Allah dan manusia dapat dipercaya untuk mengembangkan amanah kepemimpinan. Dia memiliki kemampuan dan integritàs untuk menerima, mengemban dan menjaga amanah itu.
Kedua, memiliki sifat kejujuran tinggi (as-Shidqu). Ada kejujuran yang kepada Tuhan, pada diri sendiri dan masyarakat yang dipimpinnya. Dia jujur pada kata hati, bisikan nurani dan akal sehatnya. Dia akan jujur pada nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, kemuliaan dan keadilan untuk semua.
Ketiga, memiliki kemampuan Intelijensia (al-fathonah) atau kepintaran yang tinggi. Namun kepintaran iti terbangun di atas kebijaksaksanaan (hikmah) yang tinggi pula. Dia harus pintar tapi juga harus bijak dalam idea dan aksi.
Keempat, memiliki kemampuan “komunikasi” yang tinggi. Dalam bahasa agama ini dikenal dengan sifat “at-tabligh”. Dia mampu mengekspresikan ide-idenya secara lugas (eloquent) baik dalam kata-kata maupun aksi.
Perubahan Konstruktif Melalui Partisipasi Politik.
Ketika Allah memerintahkan Musa berangkat menghadapi kekejaman Fir’aun, Allah berpesan: “berangkatlah kalian berdua (Musa dan Harun) dan katakan kepadanya dengan kata-kata yang lembut”. Kata “kalimah layyinan” (lembut dalam berkata) dimaknai sebagai upaya melakukan perubahan secara konstruktif. Tidak dengan cara-cara deskruktif.
Jika ekspresi ini kita bawa ke dalam bahasa kekinian (konteks masa kini), lebih khusus lagi dalam konteks Amerika dan Kota New York, boleh jadi perubahan yang paling konstruktif dan efektif adalah melalui partisipasi publik. Mungkin lebih spesifik lagi melalui partisipasi politik untuk menentukan siapa yang akan mengendalikan kebijakan publik.
Dalam konteks Kota New York saat ini saya menilai jika sosok figuritas Musa yang diutus untuk melawan Fir’aun Kota New York adalah Zohran Mamfani. Seorang politisi muda yang memiliki keamanahan yang tinggi, jujur pada kata hati, akal sehat dan nilai-nilai Universal yang diyakininya. Keberaniannya menentang kezholiman Fir’aun (termasuk jauh di seberang sana) yang membantai tidak saja anak-anak pria, tapi semua anak, wanita, orang tua dan kaum sipil. Fir’aun, oleh sebagian disebut Hitler abad kini.
Dalam konteks Kota New York, prilaku fir’aunistik yang paling menonjol adalah pengelolaan ekonomi yang “highly capitalistic”. Kota New York adalah pusat keuangan dunia. Di sinilah rumah Wall Street yang merupakan pusat kapital dunia. Namun kekayaan itu hanya dinikmati oleh segelintir 1-2% orang. Selebihnya terus berjuang untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya.
Zohran hadir dengan pandangan berbeda. Dia hadir dengan ideologi “Democrat Socialist”. Bukan komunis sebagaimana dituduhkan oleh lawan-lawan politiknya, termasuk Donald Trump. Tapi pandangan dan komitmen agar kekayaan negara dapat terbagi (shared) dengan lebih adil dan merata.
ZM (Zohran Mamdani) dengan segala limitasnya memilki empat karakteristik kepemimpinan yang disebutkan tadi. Memiliki karakter “amanah” dalam arti memiliki integritàs untuk mengemban amanah secara jujur. Tidak punya ambisi pribadi dan keluarga dalam kekuasaan itu. Konsisten pada misi yang diembannya.
ZM juga memiliki “kejujuran” yang tinggi (as-Sidqu). Jujur pada kata hati, bisikan nurani dan pikiran sehat. Dan jujur pada nilai-nilai Universal yang diyakininya; kemanusiaan, kemuliaan manusia (human dignity), perdamaian dan keadilan untuk semua (justice for all). Kejujuran yang membawanya kepada pembelaan terhadap kaum lemah yang terzholimi tidak pernah membeda-bedakan, termasuk kepada bangsa Palestina.
ZM juga memilik karakterisitk “al-fatonah” atau intelijensia yang tinggi berbasis hikmah. Dia adalah sosok yang cepat menangkap berbagai permasalahan dan tahu merespon terhadap masalah-masalah yang ada. Dan semua itu dibarengi dengan karakteristik “at-tablig” atau kemampuan komunikasi yang tinggi. ZM adalah seorang politisi yang sangat fasih (eloquent), mampu menyampaikan gagasan dengan bahasa yang mudah dan meyakinkan.
Sebagai manusia, pastinya ZM juga memiliki segala kriteria kemanusiaan. Dia terbatas, punya pandangan yang mungkin berbeda, bahkan boleh jadi melakukan kekeliruan dan kesalahan. Tapi di atas dari semua itu ZM adalah kita dan kita adalah dia. Ingat, umat ini bagaikan satu tubuh. Karenanya dengan segala kekurangan yang ada, bahkan mungkin kesalahan dan ketidak setujuan kita pada aspek tertentu, tidak ada alasan untuk tidak mendukungnya.
Hanya orang Islam yang kurang waras yang memberikan dukungannya pada calon yang lain.
Jamaica Hills, 4 Oktober 2025
*Ringkasan khutbah di Jamaica Muslim Center New York. Jumatan bersama Zohran Mamdani, the next NYC Mayor.