Menteri Perdagangan periode 2015/2016, Thomas Trikasih
Lembong, atau dikenal dengan sapaan Tom Lembong, didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus pemberian persetujuan impor
gula kristal mentah (GKM) kepada perusahaan
gula pada tahun 2015/2016, atau hampir 10 tahun yang lalu.
Dalam peraturan perpajakan, tempus delicti ini sudah kedaluwarsa, dan tidak
bisa menjadi sengketa pajak.
Tom Lembong ditahan sejak 29 Oktober 2024, dan disidangkan pada 6 Maret 2025.
Mencermati fenomena yang berkembang di masyarakat
sehubungan dengan jalannya
persidangan, kami sekelompok
masyarakat yang tergabung dalam Lembaga
Konsultasi dan Bantuan Hukum Perpajakan
terpanggil untuk mengajukan diri sebagai “sahabat pengadilan” atau amicus curiae untuk memberi
pendapat dan pandangan hukum, khususnya dalam bidang perpajakan, dalam kasus importasi
gula ini, agar Majelis Hakim dapat melihat permasalahan menjadi lebih jernih dan transparan,
dan dapat mengambil keputusan yang adil dan berpihak
pada kebenaran.
Hal ini sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Setelah mencermati dan mengamati jalannya persidangan
dengan penuh perhatian, kami sebagai “sahabat
pengadilan” menyampaikan pandangan kami seperti diuraikan
di bawah ini.
Pertama-tama, kami mengungkapkan rasa prihatin dari
kalangan publik, yang tercermin dalam perbincangan di berbagai platform media
sosial.
Mereka umumnya sangat terkejut atas kasus yang menimpa Tom Lembong, dan bertanya-tanya, antara lain:
·
Apa benar
Tom Lembong
melakukan tindak
pidana korupsi?
·
Mengapa peristiwa yang terjadi
hampir 10 tahun yang lalu, baru muncul
akhir-akhir ini tanpa ada tanda-tanda dan bukti-bukti
permulaan?
·
Mengapa Kejaksaan Agung melakukan
penyelidikan dan penyidikan importasi gula kristal mentah hanya terbatas pada periode jabatan
Tom Lembong saja,
sedangkan kebijakan yang sama terbukti juga dilakukan oleh
para menteri perdagangan sebelum dan sesudah Tom Lembong?
Kasus Korupsi Tom Lembong Termasuk
Unik
Kasus korupsi yang disangkakan kepada Tom Lembong termasuk
unik, karena Tom Lembong didakwa melakukan
tindak pidana korupsi
tanpa memperoleh keuntungan untuk dirinya sendiri, baik materi
maupun non-materi. Hal ini sangat tidak lazim. Karena pelaku korupsi umumnya
menuntut imbalan untuk keuntungan pribadi.
Dakwaan melakukan tindak pidana korupsi yang menguntungkan pihak lain, tanpa ada imbalan untuk keuntungan pribadi, juga sangat tidak lazim. Bertentangan dengan motif korupsi secara umum, di mana menguntungkan pihak lain pada akhirnya
juga pasti menguntungkan diri sendiri.
Oleh karena itu, Majelis Hakim harus benar-benar cermat
dalam menyikapi dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum, dan menggali secara
mendalam di mana letak niat jahat korupsi yang disangkakan kepada
Tom Lembong dengan memperhatikan fakta-fakta persidangan.
Karena, Tom Lembong
terbukti tidak menerima
keuntungan materi maupun
non-materi baik secara langsung maupun tidak langsung. Tom
Lembong juga tidak dijanjikan diberi hadiah baik materi maupun non-materi dari pihak ketiga, yaitu PT PPI, Induk Koperasi,
atau perusahaan gula.
Fakta ini merupakan
fakta persidangan yang sangat penting
sebagai dasar untuk menentukan apakah benar terjadi tindak pidana korupsi, apa benar ada niat
jahat untuk korupsi.
Dengan tidak ada bukti untuk mendapatkan keuntungan pribadi
dalam kasus importasi gula kristal mentah, baik langsung maupun tidak langsung,
publikpun bertanya-tanya, di mana letak niat jahat (mens rea) Tom Lembong untuk
melakukan korupsi?
Oleh karena itu, patut diduga kuat, bahwa motif pemberian
persetujuan impor gula kristal mentah yang dilakukan oleh Tom Lembong
kepada sejumlah perusahaan gula semata-mata dilakukan
dalam rangka melaksanakan tugas kementerian perdagangan untuk
kepentingan masyarakat luas dengan mengendalikan tata kelola industri
gula kristal putih sebaik mungkin,
bukan untuk kepentingan dan keuntungan pibadi.
Fakta ini harus benar-benar menjadi renungan bagi Majelis Hakim, apakah ada niat jahat untuk korupsi dibalik
pemberian persetujuan impor gula kristal mentah?
Tom Lembong ditahan pada 29 Oktober 2024. Dalam peraturan
pidana Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
(KUHAP) “Dalam hal adanya dua alat bukti
yang cukup dan adanya dugaan yang kuat bahwa seseorang
telah melakukan tindak
pidana, serta dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak
barang bukti, atau mengulangi tindak
pidana, maka terhadap
tersangka atau terdakwa dapat
dilakukan penahanan.” Unsur-unsur Penahanan menurut Pasal 21 KUHAP:
1.
Ada dugaan
kuat melakukan
tindak pidana
Dibuktikan dengan dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
2.
Adanya kekhawatiran
bahwa tersangka
akan:
·
Melarikan diri,
·
Menghilangkan
atau merusak
barang bukti,
·
Mengulangi tindak
pidana.
3.
Ancaman pidananya ≥ 5 tahun (untuk
jenis penahanan tertentu, lihat Pasal 21 ayat 4 KUHAP)
Sekali lagi seseorang dapat ditahan apabila ada dua alat
bukti yang cukup dan meyakinkan.
Dalam kasus Tom Lembong, Tom
Lembong didakwa menguntungkan pihak lain, yaitu perusahaan gula,
yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Dalam hal ini, jaksa harus mempunyai dua alat bukti yang meyakinkan bahwa ada kerugian
keuangan negara secara
pasti ketika menahan
Tom Lembong pada 29 Oktober 2024.
Tetapi, fakta persidangan mengindikasikan bahwa Jaksa belum
memiliki bukti kerugian keuangan negara pada saat menahan Tom Lembong 29
Oktober 2024. Karena, hasil audit investigasi penghitungan kerugian keuangan
negara dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) baru selesai dan diserahkan kepada
Kejaksaan Agung pada 20 Januari
2025.
Hal ini harus menjadi catatan khusus bagi Majelis Hakim,
apakah proses dakwaan kepada Tom Lembong, sudah dilakukan
secara benar dan profesional sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau mengandung cacat hukum?
Hal ini sangat penting untuk dicermati apa motif Kejaksaan
Agung yang sebenarnya dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, dan menjadi
pertimbangan Majelis Hakim dalam mengambil keputusan yang penting.
Selanjutnya, mengenai materi penghitungan kerugian keuangan
negara, kami mencermati bahwa komponen yang dinyatakan sebagai kerugian
keuangan negara dalam hasil audit
investigasi BPKP patut diragukan untuk bisa masuk klasifikasi sebagai
kerugian keuangan negara.
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara Menurut hukum di Indonesia, kerugian keuangan negara
adalah:
“Kerugian negara/daerah adalah
kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya, sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai.”
Ciri-ciri Kerugian Keuangan
Negara
·
Terjadi pengurangan aset
milik negara
atau daerah.
·
Berasal dari
tindakan melawan
hukum atau
kelalaian.
·
Ada penanggung
jawab (bendahara,
pejabat, pihak
ketiga).
·
Jumlah kerugiannya nyata
dan pasti
(tidak spekulatif).
·
Dibuktikan dengan dokumen audit atau keputusan
resmi BPK/APIP(Aparat Pengawasan Intern Pemerintah)
Menurut BPKP ada dua komponen
yang masuk sebagai
kerugian keuangan negara.
Yaitu komponen “kemahalan
harga” dan komponen “kurang bayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang
terdiri dari PPh Impor dan PPN Impor”.
Kemahalan Harga di atas Harga HPP
Sebagai Komponen Kerugian Keuangan
Negara Motif “kemahalan harga” lazimnya terjadi karena ada mark-up, dengan motif selisih antara harga beli dengan harga semestinya dinikmati dan dibagi kepada para pihak. Karena itu, secara logika, tidak ada kasus “kemahalan harga” apabila tidak ada pembagian
keuntungan dari selisih
kemahalan harga tersebut
kepada para pihak yang bertransaksi. Artinya,
para pihak yang bertransaksi patut diyakini
telah merasa puas dengan harga transaksi yang terjadi.
Selain itu, transaksi jual-beli gula dan harga yang
disepakati antara PT PPI dan perusahaan gula seharusnya tidak ada hubungan
sama sekali dengan Menteri Perdagangan (Tom Lembong), selama tidak ada aliran materi maupun non-materi
yang diterima oleh Tom Lembong.
BPKP berpendapat bahwa harga patokan petani (HPP) atau
harga dasar untuk gula kristal putih merupakan harga maksimum yang mengikat bagi semua pihak yang melakukan transaksi jual-beli gula. Oleh karena
itu, BPKP menganggap bahwa harga beli gula sebesar
Rp9.000 per kg dari perusahaan gula menjadi kemahalan, karena
di atas harga dasar gula (HPP) sebesar
Rp8.900 per kg.
Kami “sahabat pengadilan” mencermati bahwa fakta persidangan tidak mendukung pendapat
BPKP. Fakta persidangan membuktikan sebaliknya, bahwa HPP bukan merupakan harga maksimum. Hal ini
terbukti dari harga pembelian
gula kristal putih dari petani yang dilakukan oleh perusahaan gula tebu, termasuk
BUMN (PTPN dan PT RNI), faktanya jauh lebih tinggi dari HPP. Transaksi ini
tidak dianggap kemahalan yang mengakibatkan kerugian
keuangan negara.
Hal
ini sejalan dengan pengamatan kami, bahwa tidak ada satupun peraturan
perundang-undangan yang menyatakan bahwa
HPP adalah harga
maksimum yang wajib ditaati.
Karena itu, pernyataan BPKP bahwa selisih harga beli (Rp9.000 per kg)
dengan HPP (Rp8.900 per kg) merupakan komponen kerugian keuangan negara tidak
mempunyai dasar hukum sehingga tidak valid.
Komponen Kurang Bayar Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI)
Kami sangat terkejut dengan pernyataan BPKP terkait adanya
kurang bayar Bea Masuk dan Pajak Dalam
Rangka Impor (PPh impor dan PPN impor),
yang ditetapkan sebagai
kerugian keuangan
negara dan masuk tindak pidana korupsi. Pernyataan BPKP ini sangat
meresahkan bagi wajib pajak. BPKP telah menciptakan ketidakpastian hukum dalam
bidang perpajakan.
Menurut pandangan kami, tidak ada peraturan perpajakan yang
dapat membenarkan pernyataan BPKP, bahwa kurang
bayar Bea Masuk
dan Pajak Dalam Rangka Impor masuk komponen
kerugian keuangan negara dan tindak pidana korupsi. Pernyataan BPKP ini
sangat berbahaya bagi stabilitas nasional. Karena, mengikuti
logika BPKP, semua perusahaan menghadapi risiko menjadi terdakwa tindak pidana korupsi, karena setiap
saat dapat dituduh kurang bayar Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor, yang
masuk komponen merugikan keuangan negara.
Ada dua alasan mengapa pendapat BPKP tersebut tidak sesuai dengan peraturan perpajakan.
Kurang Bayar Bea Masuk
Menurut pandangan kami, perhitungan kurang bayar Bea Masuk
versi BPKP tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Bea masuk terhutang harus dihitung berdasarkan tarif bea masuk dari nilai barang yang diimpor. Kalau barang yang diimpor adalah Gula Kristal
Mentah maka bea masuk terhutang harus dihitung berdasarkan tarif bea masuk
untuk Gula Kristal Mentah. Ketika perusahaan gula sudah membayar seluruh
kewajiban bea masuk sesuai dengan tarif dan barang yang diimpor, maka
perusahaan gula sudah memenuhi kewajiban bea masuk, dan tidak ada kurang bayar.
Tetapi, perhitungan bea masuk versi BPKP tidak sejalan dengan ketentuan di atas. BPKP mengatakan, perusahaan gula harus membayar bea masuk seolah-olah yang diimpor
adalah Gula Kristal Putih, meskipun yang diimpor adalah Gula Kristal Mentah.
Melanjutkan kesalahan ini, karena tarif bea masuk untuk
Gula Kristal Putih lebih tinggi dari Gula Kristal Mentah, BPKP mengangap
selisih tersebut menjadi kurang bayar bea masuk, yang mengakibatkan kerugian
keuangan negara.
Perhitungan bea masuk versi BPKP, bahwa impor
produk A harus bayar bea masuk untuk produk B, tidak
sesuai peraturan perpajakan yang berlaku, sekaligus
bersifat ilusi.
Jika
perusahaan mengimpor Gula Kristal Mentah
(GKM) dan menggunakan HS Code GKM,
maka tarif bea masuk yang berlaku adalah
untuk GKM, bukan gula rafinasi, bukan gula konsumsi.
Dasar:
·
Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) yang memuat BTKI,
·
Penjelasan resmi DJBC (Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai),
·
Prinsip "lex
certa" dalam perpajakan.
Kurang Bayar PPh Impor dan PPN Impor
Sama seperti bea masuk, kurang bayar PPh Impor dan PPN
Impor bukan merupakan komponen kerugian keuangan negara.
Dasar pengenaan pajak untuk PPh impor dan PPN impor adalah
nilai produk yang diimpor. Perusahaan gula yang melakukan impor Gula Kristal
Mentah wajib membayar
PPh impor dan PPN
impor berdasarkan nilai impor Gula Kristal Mentah,
ditambah biaya-biaya lainnya.
Oleh karena itu, pendapat BPKP,
bahwa kewajiban PPh impor dan PPN impor
Gula Kristal Mentah harus dihitung dengan menggunakan harga seolah-olah yang diimpor adalah
Gula Kristal Putih tidak
ada dasar hukumnya.
Selain itu, PPh impor dan PPN impor merupakan pajak dibayar
di muka, bukan pajak yang berdiri sendiri dan bersifat final. Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983 jo. UU No. 36 Tahun 2008 PPh impor
dapat diperhitungkan (dikreditkan) dengan Pajak Penghasilan Badan (PPh Pasal 25) pada akhir tahun.
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No. 7 Tahun 1983 jo. UU No. 36 Tahun
2008 Prepaid tax atau dalam
bahasa Indonesia dikenal
sebagai “pajak dibayar
di muka”, adalah:
Pembayaran pajak yang
dilakukan sebelum saat terutangnya pajak sebenarnya terjadi.Pajak ini bersifat kredit pajak, artinya akan diperhitungkan atau dikompensasi terhadap kewajiban pajak final pada saat pelaporan SPT (Surat
Pemberitahuan) baik SPT Masa maupun Tahunan.Pasal 22: Pihak-pihak tertentu ditunjuk untuk memungut pajak atas kegiatan tertentu seperti
impor, penjualan barang pemerintah,
dll.PPh Pasal 22 atas impor barang, pembelian BUMN, dan lainnya
adalah pajak dibayar
di muka.
Wajib Pajak dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 dalam perhitungan akhir di SPT Tahunan (Pasal 28 & 29).
Artinya, PPh impor harus dimaknai sebagai bagian dari Pajak Penghasilan Badan yang menjadi objek
pajak yang sesungguhnya.
Sedangkan PPh impor merupakan bagian dari Pajak Penghasilan Badan yang dibayar (di muka) pada saat barang impor
sampai di Indonesia. Oleh karena itu, pada akhir tahun penyampaian SPT, semua
PPh impor sudah diperhitungkan ke dalam Pajak Penghasilan Badan, sehingga tidak
ada kurang bayar
pajak PPh Impor,
apalagi merugikan keuangan
negara.
Begitu juga PPN impor, merupakan pajak dibayar di muka,
bukan pajak yang berdiri sendiri dan bersifat
final. PPN impor
dinamakan PPN masukan
yang dapat dikreditkan (diperhitungkan) dengan
PPN keluaran, yaitu PPN yang dipungut
dari pelanggan, dalam hal ini PT PPI.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU No. 8 Tahun
1983 jo. UU No. 42 Tahun 2009 Pasal
9 ayat (1):
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak, termasuk
impor, dapat dikreditkan terhadap
Pajak Keluaran Artinya, PPN
Impor adalah prepaid tax yang bisa dikreditkan dalam SPT Masa PPN, sepanjang memenuhi syarat
formal dan material
Artinya, jumlah PPN yang dipungut dari pelanggan ini yang
menjadi penerimaan negara yang sesungguhnya,
diterima secara bertahap. Yaitu sebagian diterima pada saat perusahaan membeli
bahan baku (impor maupun domestik), dan sebagian lagi diterima pada saat
perusahaan tersebut menjual hasil produksinya kepada pihak ketiga.
Misalnya, harga
Gula Kristal Mentah impor ditambah freight, asuransi dan bea masuk sebesar Rp7.000 per kg, maka PPN impor (PPN masukan) yang harus dibayar
ke kas negara Rp700 per kg. Sementara ini abaikan biaya pengolahan
dan biaya bahan baku lainnya. Hasil olahan Gula Kristal Putih kemudian
dijual dengan harga Rp9.000 per kg kepada
PT PPI, ditambah PPN 10% (PPN keluaran)
atau sebesar Rp900 per kg. Dalam hal ini, perusahaan gula tidak wajib setor seluruh PPN yang diterima
dari PT PPI sebesar
Rp900 per kg ke kas negara. Tetapi, hanya selisih antara PPN keluaran dan PPN masukan
(PPN impor) yaitu sebesar Rp200 per kg.
Artinya, total penerimaan negara sehubungan dengan
PPN dari sektor
produksi Gula Kristal
Mentah menjadi Gula Kristal Putih hanya sebesar PPN penjualan (PPN keluaran) yaitu Rp900 per kg, diterima
negara secara bertahap: Rp700 per kg pada saat impor Gula Kristal Mentah
dan Rp200 per kg pada saat penjualan Gula Kristal Putih
kepada PT PPI.
Oleh karena itu, besarnya nilai
PPN impor tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap
penerimaan negara, karena nilai akhir PPN yang diterima negara akan tetap sama yaitu sebesar PPN dari penjualan
Gula Kristal Putih
kepada pelanggan, dalam hal ini Rp900 per kg.
Misalkan PPN impor ditetapkan Rp750 per kg, bukan Rp700 per
kg, negara tetap menerima PPN secara keseluruhan Rp900 per kg, karena PPN impor
sebesar Rp750 per kg tersebut dikreditkan (dikurangi) dari PPN keluaran yang diterima dari pelanggan, PT PPI, pada saat penjualan gula, sehingga
perusahaan gula hanya
bayar selisihnya sebesar
Rp150 per kg.
Penjelasan di atas menegaskan bahwa PPN impor sebagai pajak dibayar di muka, dan tidak bersifat final, tidak tepat dinyatakan
ada kurang bayar. Karena PPN secara keseluruhan dibayar pada saat penjualan,
setelah memperhitungkan PPN impor sebagai pengurang.
Bea dan Pajak Merupakan
Domein Administratif, Bukan Domein Pidana
Kami masyarakat wajib pajak sangat prihatin atas dibawanya permasalahan bea masuk dan pajak dalam
rangka impor menjadi domein pidana. Menurut peraturan
perpajakan Pihak yang Berwenang Menetapkan Pajak Kurang Bayar Yang berwenang menetapkan pajak kurang bayar adalah Direktorat
Jenderal Pajak (DJP)/ Direktorat
Jenderal Bea cukai melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB).Dasar Hukum: UU KUP (Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) Pasal 13 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1983 jo. UU No. 28 Tahun 2007 “Apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain, ternyata jumlah pajak yang
terutang tidak sebagaimana mestinya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan
besarnya pajak yang terutang dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.”
jadi, Direktur Jenderal
Pajak/Bea Cukai melalui DJP-lah yang memiliki kewenangan
administratif untuk menetapkan bahwa Wajib Pajak masih memiliki kekurangan
pembayaran pajak. pihak yang berwenang menetapkan kurang bayar pajak adalah
Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementetian Keuangan.
Mekanisme penetapan kurang bayar pajak harus melalui rangkaian proses yang diatur secara khusus di dalam peraturan perpajakan, dari pemeriksaan, keberatan, banding di pengadilan khusus pajak sampai
peninjauan kembali.
Rangkaian penetapan kurang bayar pajak diawali dengan penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat, dan proses bergulir sampai ditetapkan
kurang bayar pajak,
apabila ada, ditambah
denda dan sanksi administratif.
· Bea dan pajak adalah bagian dari
sistem administrasi fiskal, yang bertujuan mendorong
kepatuhan, bukan menghukum.
· Negara mengutamakan pendekatan
administratif dalam koreksi pajak dan bea.
·
Ranah pidana hanya
ditempuh bila terdapat itikad jahat (dolus/niat jahat) dan dilakukan dengan
bukti yang kuat.
· Oleh
karena itu, penyelesaian kewajiban
bea/pajak seharusnya dilakukan terlebih dahulu melalui jalur administratif,
seperti keberatan, banding, atau restitusi.
Oleh karena itu, membawa perselisihan atau sengketa pajak
menjadi domein pidana tidak sesuai dengan
peraturan perpajakan yang berlaku. Perlakuan ini juga membahayakan stabilitas perekonomian
nasional karena banyak
wajib pajak yang bisa diseret
ke pengadilan dan didakwa melakukan
tindak pidana korupsi.
Semoga Majelis Hakim dapat meluhat bahaya ini dan melakukan koreksi
….
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kami mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara
ini untuk menerima
dan mempertimbangakan pendapat
kami ini