Opini oleh Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes- Pakar Telematika
Saya pernah mengulas panjang lebar kisah pewayangan Petruk Jadi Ratu, di mana sosok yang awalnya tampak lugu, kampungan, dan sederhana tiba-tiba berubah menjadi penguasa karena dukungan oligarki.
Begitu berkuasa, watak aslinya muncul: kejam, korup (bahkan disebut dalam laporan OCCRP), suka berbohong (contohnya klaim 6000 unit Esemka), dan mementingkan keluarga sendiri sampai berani membentuk dinasti politik.
Petruk yang menjadi Prabu Kantong Bolong dikenal hobi membual. Bahkan konon “kantong” yang katanya berisi data triliunan rupiah nyatanya kosong. Dalam dunia pewayangan, Petruk mirip tokoh Pinokio—semakin banyak berbohong, semakin terlihat.
Salah satu contoh kebohongan yang mencuat kembali adalah ketika si "Ratu Petruk" menyebut seorang dosen bernama Pak Kasmudjo sebagai Dosen Pembimbing Skripsi (DPS) di Universitas Gadjah Mada, dalam acara tahun 2017.
Namun belakangan, Pak Kasmudjo sendiri membantah, menyatakan bahwa ia bukan DPS, bahkan saat itu masih sebagai Asisten Dosen (AsDos) yang tidak memiliki kewenangan membimbing skripsi.
Pernyataan ini menimbulkan polemik. Banyak pendukung fanatik si Petruk, yang belakangan dikenal sebagai “TerMul” (Ternak Mulyono, istilah warganet), membela dengan narasi ngawur tanpa memahami perbedaan DPS, DPA, dan AsDos. Sebagian dari mereka bahkan hanya lulusan SMA atau berasal dari kampus abal-abal yang sudah ditutup.
Mereka kini aktif dalam kelompok bernama “YT Nusantara,” yang semakin terlihat nyeleneh usai diundang ke istana. Bahasa yang digunakan dalam podcast mereka terkesan norak dan tidak mencerminkan kecerdasan intelektual. Lambang mereka bahkan dianggap menghina simbol negara, memakai burung emprit bersayap tujuh dan berekor enam.
Kisah antara “Petruk” dan “Bathara Guru” ini sejatinya mengajarkan pentingnya kejujuran, terutama di tengah isu dugaan ijazah palsu yang makin ramai.
Kejujuran Pak Kasmudjo yang tetap teguh pada kebenaran—meskipun didatangi dan mungkin diberi tawaran—patut dihargai. Ijazah dan skripsi tidak bisa dipisahkan. Jika skripsinya palsu atau fiktif, maka ijazahnya otomatis tidak sah.
Oleh karena itu, bila nanti hasil uji forensik hanya menyatakan ijazah “identik” atau “asli” tanpa kajian ilmiah yang mendalam—seperti uji karbon untuk kertas dan analisis tinta—maka patut dipertanyakan integritas proses tersebut.
Kasus ini menunjukkan bagaimana sesuatu yang sebenarnya sederhana—kalau memang jujur—malah dibuat rumit sendiri hingga menimbulkan kegaduhan.
Di tengah hiruk-pikuk ini, muncul suara bijak seperti Ibu Megawati yang dengan lugas berkata: “Tunjukkan saja kalau memang ada.” Pernyataan seperti ini penting sebagai pengingat, bahwa transparansi adalah kunci.
Jika tidak, maka seruan publik seperti #AdiliJokowi atau #MakzulkanFufufafa akan terus bergema.
Tags
OPINI