Make America Great Again ala Trump

Make America Great Again ala Trump


Oleh Imam Shamsi Ali

Semua pasti tahu bahwa slogan kampanye Donald Trump adalah MAGA atau Make America Great Again. Slogan ini dapat dipahami dengan dua sisi. Satu sisi, Donald Trump seolah ingin mengatakan bahwa Presiden sebelumnya, dalam hal ini Barack Obama, gagal menjadikan Amerika besar. Bahkan Presiden Obama pernah hadir dan menjadi penyebab Amerika lemah dan mundur. Slogan ini pada periode kedua kali ini juga dipahami sebagai serangan kepada mantan musuh bebuyutan politiknya, Joe Biden, yang oleh Trump digelari sleepy Joe (Joe yang ngantuk). 


Pada sisi ini terasa tendensi negatif dari slogan MAGA tersebut. Ada tendensi balas dendam kepada Presiden sebelumnya. Tapi juga ada tendensi “busung dada” seolah Donald Trumplah yang mampu menjadikan Amerika negara yang kuat dan hebat. Hal yang selalu disampaikan di mana-mana “that has never happened before”…kemajuan atau hasil apapun belum pernah terjadi sebelumnya. 


Namun pada sisi lain slogan MAGA ini juga ada aspek positifnya. Dengan slogan ini Donald Trump memang ingin melihat Amerika lebih maju dan kuat, baik secara domestik maupun gobal. Walaupun kata “great” ini dicurigai sebagai pernyataan rasis “White” (again), MAGA Trump ini menampakkan keinginan Trump melihat Amerika kuat secara ekonomi tanpa mengeksploitasi bangsa lain. Tapi melalui proses kompetisi yang memang  terkadang terasa pahit dan pedih. Perang tarif memang pahit. Tapi itu adalah cara atau tepatnya gaya Trump dalam upaya membenahi perekonomian Amerika. Dampaknya terasa tidak saja oleh bisnis menengah ke bawah. Bahkan juga bisnis-bisnis raksasa seperti Apple dan produk-produk brand mewah lainnya karena faktori mereka juga ada di China.


Kerjasama, bukan intervensi 


Dengan segala resistensi yang ada di dalam negeri karena kebjikan-kebijakan yang dianggap kurang bersahabat, kebijakan imigrasi dan kebijakan tarif khususnya yang menjadikan berbagai harga meninggi. Namun ada satu hal yang diapresiasi dari Donald Trump adalah kebijakan politiknya yang “unconventional” (di luar kebiasaan). Entah itu karena memang representasi dari karakter pribadi yang tidak mau didikte. Mungkin juga karena dia memiliki strategi politik yang berbeda dari yang lain. Atau boleh juga karena memang itu startegi tim politiknya yang ingin tampil dengan cara yang berbeda. Dan semua itu dia lakukan secara terbuka dan tanpa basa basi.


Dari sekian kebijakan-kebijakan yang berbeda itu adalah sikap politik luar negeri Trump yang secara tegas berbeda dari politik luar negeri Amerika yang kita kenal selama ini. Amerika dengan “exceptionalism” atau perasaan Istimewa harus menjadikan diri sebagai “the dominant over the nations” (kecenderungan mendominasi bangsa-bangsa lain). Hal yang jika gagal dilakukan secara halus (kudeta politik atau ekonomi misalnya), akan dilakukan secara kasar (dengan perang dan pendudukan. 


Berbagai kudeta politik melalui dukungan kepada oposisi, termasuk melalui tekanan ekonomi, banyak terjadi di masa lalu. Bahkan tidak jarang semua perangkat publik, termasuk media dan NGO dipakai untuk menjatuhkan rejim yang tidak berpihak kepada Amerika. Negara-negara Amerika Latin adalah contoh yang paling nyata dalam hal ini. Demikian pula perang dan pendudukan Amerika seperti Afghanistan, Irak, dan berbagai negara lainnya. Semua ini bertujuan untuk menjaga apa yang disebut dengan “American exceptionalism” tadi itu.


Trump hadir dengan mindset yang sesungguhnya sama. Hanya saja dia memakai slogan yang berbeda. Dia merubah dari kata exceptionalism menjadi MAGA. Tapi hal positif yang membedakan Trump dan lainnya adalah cara untuk mewujudkan “kebesaran” Amerika itu. Walaupun Trump banyak dilabel sebagai seseorang yang kurang beradab, dia hadir untuk mewujudkan kebesaran Amerika dengan pendekatan yang lebih beradab (civilized).


Dalam pidatonya yang mendapat applaus panjang dari hadirin di Forum Bisnis Riyadh, Donald Trump menyampaikan berikut ini: “Transformasi dunia tidak datang melalui intervensi atau terbang dengan penerbangan mewah menceramahi bangsa lain bagaimana harus hidup atau bagaimana mengurus urusan-urusan mereka. Kehebatan kemajuan Riyadh dan Abu Dhabi tidak datang dari apa yang disebut Neocon atau organisasi-organisasi liberal yang telah menghabiskan Trilyunan dollar tapi gagal membangun Kabul, Baghdad, dan banyak kota lainnya. Faktanya pembangunan yang modern di Timur Tengah telah dilakukan oleh orang-orang di kawasan itu sendiri. Mereka telah hidup di sini berabad-abad mereka berhasil melakukan pembangunan itu di atas kedaulatan negara masing-masing. Kalian berusaha mewujudkan visi kalian yang unik, menggoreskan masa depan kalian dengan cara kalian sendiri. Pada akhirnya mereka yang mengaku “pembangun bangsa-bangsa” (nation builders) telah menghancurkan banyak bangsa lain ketimbang membangun. Dan mereka yang para interventionalists melakukan intervensi ke dalam masyarakat yang kompleks yang mereka sendiri tidak paham. Mereka memberitahu kalian apa yang harus dilakukan. Tapi mereka tidak tahu siapa dan apa yang harusnya kalian lakukan. Perdamaian, kemakmuran, dan kemajuan pastinya tidak datang dari penolakan radikal terhadap warisan leluhur kalian. Tapi justeru dengan merangkul tradisi nasional kalian”. 


Saya melihat pernyataan ini sebagai sebuah langkah politik luar negeri yang tidak biasa (unconventional) bahkan luar biasa (extraordinary) sekaligus keberanian dari seorang Presiden Donald Trump. Donald Trump melawan arus opini yang sudah terlanjur merasa tuan harus “menggurui”, “memerintah” dan jika perlu “memaksa” bangsa-bangsa lain untuk mengikuti keinginan Amerika. Donald Trump bukan saja menyadari “kegagalan kebijakan “intervensi” Amerika  selama ini. Tapi sekaligus mengeritik secara tajam kebijakan tersebut yang dianggap telah gagal total bahkan menjadi biang kerok permasalahan dan pengrusakan di berbagai belahan dunia. 


Pernyataan Presiden Trump itu seharusnya diapresiasi sekaligus menjadi momentum bagi bangsa lain, khususnya dunia Islam, untuk merubah mindset (cara pandang) dalam hubungannya dengan Amerika.  Trump tidak menempatkan Amerika sebagai “tuan” (master) bagi bangsa lain. Tapi pasangan (partner) dalam membangun dunia yang lebih baik. Bergantinya sikap Amerika dari posisi tuan menjadi partner harus disikapi dengan sikap yang sama oleh bangsa-bangsa dunia. Jangan lagi merasa rendah diri atau minder (inferior) kepada bangsa yang selama ini dikenal sebagai “super power” itu.


Memang akhirnya mau atau tidak,  Amerika harus melakukan introspeksi dan transformasi (self change). Perubahan yang terjadi di dunia begitu cepat dan di luar ekspektasi banyak orang. Jangan sampai Amerika terhanyut dalam perasaan “hebat” (exemptional). Padahal sedang berjalan di tempat atau berjalan mundur. Sementara bangsa lain melompat maju ke angkasa yang tinggi. Dan sungguh benar ketika Trump mengatakan: “anda maju bukan karena intervensi bangsa Barat/Amerika. Tapi karena the miracle Arabian Way”.


Dan harusnya bangsa Arab, khususnya Saudi, Emirat dan Qatar juga sadar bahwa kata “Arabian” dalam banyak literasi Islam semakna dengan kata “Islamic”. Maka Arabian Way itu harus dirubah jadi “Islamic Way”. Sehingga Trump juga pada akhirnya bisa sadar bahwa Islam di Amerika akan menghadirkan (saya menghindari kata “miracle”). Tapi Islam hadir dengan kontribusinya yang menakjubkan sebagaimana di masa lalu. And history often repeat itself in different ways. InsyaAllah! 


Dubai-Jakarta, 15 Mei 2025 

An Indonesian-New Yorker

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال