Pergantian Laode Tariala, untuk apa ?

Pergantian Laode Tariala, untuk apa ?


Oleh: Muh. Endang SA.

Salah satu berita politik paling hot minggu ini adalah pergantian Ketua DPRD Sultra Laode Tariala yang baru menjabat kurang lebih setahun, Ia dicopot oleh Partainya sendiri Partai Nasdem. Politisi kawakan yang berangkat dari bawah, pernah menjadi anggota DPRD Muna dan Muna Barat, kemudian sejak periode 2019 lalu menjadi anggota DPRD Provinsi, diganti oleh Syahrul Said rekan separtainya sendiri.


Adapun alasan pencopotan Tariala sebagaimana disampaikan oleh Tahir Kimi Sekretaris Partai Nasdem Sultra karena Ia dipandang tidak mampu memimpin fraksi-fraksi di DPRD Sultra, jauh dari rakyat, dan dianggap terlalu dekat dengan Gubernur Andi Sumangerukka, bahkan karena kedekatan itu Ia digambarkan seolah sudah menjadi seperti “ajudan” bagi Sang Gubernur. 


Benarkah Laode Tariala bersikap seperti yang disampaikan DPW Partainya itu ?. Saya kira biarlah publik yang menjadi “wasit” untuk soal ini. Dan banyak cara untuk itu, contohnya saat ini banyak sekali tersedia platform digital seperti Google untuk “melacak” rekam jejak politisi seterkenal Laode Tariala. Dan pemilih yang baik adalah mereka yang selalu meluangkan waktu melacak rekam jejak wakil-wakilnya.


Bila alasan pemecatan seperti yang dijelaskan Tahir ini benar, Saya kira Kita harus memberi apresiasi kepada Partai Nasdem Sultra yang ingin menegaskan kembali khitah pembentukan DPRD. Langkah Partai pemenang pemilu di Sultra ini yang mengganti Ketua DPRD bahkan sekaligus dengan Ketua Fraksinya bisa Kita baca sebagai satu langkah serius untuk mengembalikan institusi DPRD ke fungsi dan tugasnya yang sebenarnya 


Sesuai Undang-Undang nomor 13 tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Tugas DPRD adalah mengawasi jalannya pemerintahan dan pengelolaan pembangunan daerah, menyusun dan membentuk Perda, bersama Gubernur menyusun dan menetapkan APBD. Terhadap ini banyak gugatan publik soal belum terwujudnya tugas-tugas DPRD Sultra itu. 


Lalu dari mana Nasdem “belajar” soal perlunya “jarak” antara Ketua DPRD dan Gubernur Sultra ?. Dalam rumus pembelajaran kontekstual disebutkan, biasanya orang belajar dari hal-hal yang terdekat atau sudah dikenal sebelumnya, jadi tidak mustahil dalam penggantian ini Nasdem justru belajar dari pengalaman kesejarahan “hubungan” antara Ketua DPRD dan Gubernur dari rezim pemerintahan Gubernur Sultra sebelumnya, Ali Mazi.


Di zaman pemerintahan Ali Mazi banyak sekali kebijakan pembangunan khususnya dibidang pengelolaan anggaran yang mendapatkan kritik keras dari publik. APBD Sultra yang terbatas itu disusun secara serampangan. Digunakan membiayai pembangunan proyek-proyek besar yang nir manfaat, belum urgen, dan hanya bersifat memorabilia. 


Menariknya berdasarkan pernyataan beberapa anggota DPRD di media, proyek-proyek tersebut sebagian besar “tidak dibahas” oleh mereka. Sesuatu yang aneh bin ajaib bisa terjadi. Ada proyek bisa berjalan tanpa pembahasan anggota DPRD. Mungkin hanya dibahas antara Gubernur bersama Ketua DPRD saja.


Proyek seperti pembangunan gedung perpustakaan internasional, gedung kantor Gubernur Sultra 21 lantai, rumah sakit jantung Oputa Yiko (kini statusnya diturunkan Depkes sekelas Puskesmas), jalan wisata Toronipa, Gerbang Toronipa, pagar dan aspal Rujab Gubernur, patung Oputa Yiko di Bau-Bau dan Kota Kendari. Semua proyek-proyek mercusuar tersebut menelan anggaran kurang lebih empat triliun rupiah.


Akibat dari kesalahan alokasi anggaran untuk proyek-proyek mercusuar ini kemudian berimplikasi pada hilangnya alokasi anggaran untuk pembangunan sektor lain yang sebenarnya lebih dibutuhkan publik seperti pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Sehingga banyak sekali terjadi pemblokiran jalan oleh rakyat sebagai bentuk protes terhadap jalan dan jembatan yang rusak, bahkan di beberapa tempat Ali Mazi dituding berbohong terhadap janji kampanyenya. 


Di Lalembuu Konsel misalnya Ali Mazi dituding berbohong atas pernyataannya diatas meterai yang menyanggupi akan membangun jalan di sana bila dipilih menjadi Gubernur Sultra, begitu juga di Buton Utara Ia juga dikatakan berbohong karena tidak memperbaiki jalan di mana Ia menang 80 persen saat Pilgub. Bahkan di Lipu Tinadeakono Sara inj Ali Mazi sebagai Gubernur dianggap sudah mati oleh para mahasiswa melalui aksi teatrikal nya, dan karena Ali Mazi tidak terima Ia melaporkan aksi itu ke Polda, dan seorang mahasiswa Butur Baada Hum Yung Marasa menjadi tersangka karenanya.


Mungkin belajar dari pengalaman efek negatif kedekatan Ketua DPRD dan Gubernur di zaman Ali Mazi itulah sehingga Partai Nasdem Sultra yang juga kebetulan dipimpin Ali Mazi mengambil tindakan tegas mengganti Laode Tariala ini, bukan karena isu lain yang beredar di medsos seperti karena “kurangnya setoran” dari Tariala, karena kedekatan pribadi pengganti Tariala dan Ali Mazi, atau ini merupakan “pukulan balasan” dari Ali Mazi kepada Gubernur ASR karena anaknya diganti ditengah jalan dari jabatan Ketua KONI Sultra oleh kemenakan ASR. 


Yang sudah jelas Laode Tariala kini sudah diganti, dan Ia mencetak sejarah sebagai satu-satunya Ketua DPRD Sultra yang dicopot ditengah jalan, lalu apakah DPRD Sultra akan berfungsi dan bertugas sebagaimana sejatinya dengan pergantian ini ?. Saya kira kini menjadi tugas Syahrul Said sebagai Ketua DPRD pengganti dan Partai Nasdem untuk membuktikannya, apakah pergantian ini memang dilandasi niat mulia atau sekedar pergantian biasa saja ?.Kita hanya bisa menunggu.


Wallahu a’lam bishawab

Ketua Dewan Pendiri YLBH Sultra

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال