Sidoarjo || KASTV - Selasa, (9/12/25) Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh setiap tanggal 9 Desember seharusnya bukan hanya sekadar agenda seremonial tahunan yang diisi pidato normatif dan pajangan spanduk. Lebih dari itu, Hakordia harus menjadi momentum refleksi kritis dan penegasan komitmen nyata seluruh elemen masyarakat, terutama Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, untuk memerangi korupsi hingga ke akar-akarnya.
Di Sidoarjo, isu korupsi masih menjadi tantangan serius yang secara fundamental menghambat kemajuan daerah. Upaya signifikan yang telah ditunjukkan oleh lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan Negeri, dalam penanganan kasus korupsi, alih-alih melegakan, justru mengindikasikan bahwa praktik rasuah masih marak dan terstruktur di berbagai lini.
Korupsi di tingkat daerah, atau sering disebut petty corruption dan grand corruption lokal, memiliki dampak yang paling langsung dan merusak pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Ini bukan hanya tentang angka kerugian negara yang fantastis, tetapi tentang kualitas hidup yang terampas:
Mulai dari praktik pungutan liar (pungli) dalam layanan perizinan, administrasi kependudukan, hingga sektor pendidikan, yang jelas melanggar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pungli memaksa masyarakat berbiaya tinggi untuk layanan yang seharusnya menjadi hak mereka.
Praktik penggelembungan dana (mark-up) pada proyek infrastruktur jalan, jembatan, atau fasilitas kesehatan mengakibatkan kualitas bangunan di bawah standar. Ini adalah cerminan dari ketidakpatuhan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang seharusnya menjamin akuntabilitas.
Dana Bantuan Sosial (Bansos) atau alokasi untuk usaha kecil yang tidak tepat sasaran akibat intervensi oknum birokrasi, menciderai keadilan dan menghambat upaya pengentasan kemiskinan.
Komitmen antikorupsi Pemkab Sidoarjo tidak bisa lagi hanya berhenti pada janji. Komitmen tersebut harus diwujudkan dalam kepatuhan dan implementasi tegas terhadap landasan hukum yang berlaku. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menjadi payung hukum utama yang mendefinisikan secara jelas tujuh kelompok tindak pidana korupsi. Pemerintah daerah wajib memastikan seluruh jajarannya memahami dan tunduk pada ancaman pidana yang terkandung di dalamnya.
Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PK) harus diinternalisasi sebagai panduan taktis.
Stranas PK menargetkan area-area kritis pencegahan, seperti perizinan, pengadaan barang dan jasa, serta reformasi birokrasi.
Agar Hakordia tidak sekadar seremonial, langkah-langkah konkret dan sistemik harus segera diterapkan di Sidoarjo.
Pemerintah daerah wajib membuka akses penuh terhadap seluruh mata anggaran, mulai dari perencanaan hingga realisasi, melalui platform digital yang mudah diakses publik.
Penggunaan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) secara menyeluruh adalah kunci untuk memutus mata rantai interaksi tatap muka yang berpotensi suap dan pungli.
Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) harus diperkuat secara independensi, anggaran, dan kapasitas sumber daya manusia. Inspektorat tidak boleh lagi hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran atau stempel bagi kebijakan kepala daerah, melainkan sebagai early warning system yang efektif.
Pemerintah daerah harus menjamin perlindungan mutlak bagi pelapor atau whistleblower yang berani mengungkapkan praktik korupsi, sesuai semangat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tanpa perlindungan, informasi kritis akan selalu terbungkam oleh rasa takut.
Komitmen harus ditanamkan sejak dini. Program edukasi antikorupsi harus menjadi kurikulum wajib bagi ASN dan dimasukkan ke dalam agenda soft skill di lembaga pendidikan.
Komitmen antikorupsi Sidoarjo harus bergerak dari retorika seremonial menuju implementasi sistemik dan terukur. Hakordia 2025 harus menjadi titik balik bagi Pemkab Sidoarjo untuk menegakkan integritas sebagai budaya kerja utama, karena korupsi bukan hanya kejahatan, melainkan perampasan hak dasar rakyat.
Oleh: Arju Herman, Sekretaris PKN Tim Kabupaten Sidoarjo
