GRESIK || KASTV -Sebuah organisasi yang awalnya digadang-gadang menjadi lokomotif kemajuan masyarakat Bawean, Kerukunan Toghellen Bawean (KTB), kini tengah berada di bawah sorotan tajam. Alih-alih menjadi wadah pemersatu, organisasi yang lahir dari semangat kolektif tokoh-tokoh besar ini dinilai gagal bertransformasi menjadi kekuatan nyata bagi masyarakat adat Bawean.
Didirikan pada April 2010 dengan restu tokoh-tokoh karismatik seperti Ajengan KH. Zezen Zainal Abidin, KTB memikul mandat besar: meningkatkan harkat warga, melestarikan budaya, dan membangun kemandirian ekonomi melalui program unggulan Gelar Bawean. Namun, realitanya justru berbanding terbalik dengan ekspektasi.
Persoalan utama yang membelit KTB bukanlah kurangnya dukungan massa, melainkan rapuhnya manajemen internal. Program "Gelar Bawean"sebuah inisiatif penggalangan dana global dari warga Bawean di Singapura hingga Malaysia—yang semula menjanjikan transparansi dan kemandirian ekonomi, kini bak layu sebelum berkembang.
Seorang pengamat sekaligus praktisi hukum asal Bawean yang enggan disebutkan namanya, memberikan kritik pedas terhadap struktur kepengurusan yang ada. Menurutnya, hambatan utama KTB justru datang dari tokoh-tokoh besar di dalamnya yang gagal bekerja secara kolektif.
"Akar masalahnya ada di internal. Banyak dari mereka adalah tokoh besar di lingkungannya, namun mentalitasnya masih pemimpin lokal. Yang dipikirkan bukan kemajuan Bawean secara utuh, melainkan kejayaan kelompok masing-masing. Mereka terbiasa dengan gaya 'one man show'siap memimpin tapi tidak siap dipimpin dalam sebuah kerja sama tim (team work)," tegas sang praktisi hukum tersebut.
Ketidakhadiran KTB dalam isu-isu strategis semakin memperlebar jurang kepercayaan masyarakat. Saat warga Bawean didera krisis transportasi laut yang menghambat mobilitas dan ekonomi, KTB justru tidak hadir sebagai representasi kolektif atau penengah yang solutif.
Pukulan telak lainnya terlihat dari absennya KTB dalam forum nasional seperti pertemuan Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Banyuwangi. Hal ini dipandang sebagai bukti nyata bahwa KTB telah kehilangan taringnya di kancah nasional untuk memperjuangkan kedaulatan masyarakat adat Bawean.
Guna menyelamatkan marwah organisasi, seruan untuk revitalisasi kepengurusan kini semakin kencang. Model organisasi yang "gemuk" namun tidak bergerak dinilai sudah tidak relevan.
"Kita tidak butuh struktur yang terlalu besar jika hanya untuk pajangan nama. Diperlukan tim yang lebih ramping, mungkin cukup lima sampai tujuh orang, tetapi mereka harus enerjik, solid, dan memiliki dedikasi tulus untuk kemajuan kolektif, bukan kepentingan sektoral," tambah narasumber tersebut.
Masyarakat menaruh harapan besar agar KTB segera bangkit dari tidur panjangnya. Tanpa pembersihan internal dan perubahan paradigma kepemimpinan, jargon "Merajut Kebersamaan, Meraih Harapan" hanya akan menjadi slogan kosong yang tertinggal di atas kertas sejarah.(JM)
Surabaya, 27 Desember 2025
