Deforestasi, Kepemimpinan Negara, dan Krisis Pertanggungjawaban Publik

Deforestasi, Kepemimpinan Negara, dan Krisis Pertanggungjawaban Publik

Opini oleh: Damai Hari Lubis - Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Bencana ekologis selalu meninggalkan jejak sosial yang panjang. Anak kehilangan orang tua, keluarga tercerabut dari sumber penghidupan, dan komunitas terpaksa menanggung trauma kolektif yang tidak mudah dipulihkan. Dalam perspektif kebijakan publik, korban semacam ini tidak dapat dipahami semata sebagai konsekuensi alamiah, melainkan sebagai indikator kegagalan sistemik dalam tata kelola negara.

Mengelola negara modern bukanlah kerja individual, melainkan kerja institusional. Kepemimpinan nasional dijalankan melalui relasi fungsional antara cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Setiap keputusan, pembiaran, atau penyimpangan—mulai dari tingkat pembuat kebijakan hingga pelaksana teknis—menciptakan mata rantai sebab-akibat yang berdampak langsung pada keselamatan publik. Ketika pelanggaran lingkungan ditoleransi, ketika kejahatan ekologis dihukum ringan atau bahkan dilegalkan melalui kompromi politik dan ekonomi, maka negara sedang memproduksi risiko bagi warganya sendiri.

Dalam konteks ini, hubungan antara kepemimpinan negara dan bencana alam seperti banjir bandang, longsor, serta hanyutnya kayu dari kawasan hulu hingga ke laut bukanlah hubungan kebetulan. Negara dan lingkungan hidup sama-sama bekerja sebagai sistem. Keduanya bergantung pada keteraturan, keseimbangan, dan kepatuhan terhadap norma. Ketika sistem negara gagal menegakkan hukum, sistem ekologis merespons melalui disrupsi yang sering kali memakan korban manusia.

Deforestasi merupakan contoh paling konkret dari kegagalan tersebut. Secara ilmiah, deforestasi adalah penghilangan tutupan hutan secara permanen akibat alih fungsi lahan—baik untuk perkebunan, pertambangan, peternakan, maupun pembangunan infrastruktur. Dampaknya bersifat multidimensional: hilangnya keanekaragaman hayati, meningkatnya emisi gas rumah kaca, degradasi tanah dan air, serta meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologis. Semua ini berimplikasi langsung pada keselamatan dan kesejahteraan masyarakat.

Ironisnya, praktik deforestasi masif kerap berlangsung di tengah kerangka hukum yang secara normatif sudah cukup memadai. Konstitusi menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Undang-undang lingkungan hidup mengatur prinsip kehati-hatian, pencegahan, dan pertanggungjawaban mutlak. Namun dalam praktik, hukum sering kali kalah oleh kepentingan ekonomi jangka pendek dan relasi kuasa yang timpang antara negara, korporasi, dan masyarakat terdampak.

Di sinilah krisis kepemimpinan menemukan bentuk nyatanya. Bukan dalam ketiadaan aturan, melainkan dalam lemahnya penegakan dan rendahnya komitmen etis penyelenggara negara. Negara tampak anomali: secara normatif mengakui kewajiban melindungi lingkungan, tetapi secara faktual membiarkan kerusakan berlangsung secara sistematis.

Dalam kerangka sekuler dan akademik, persoalan ini dapat dibaca sebagai kegagalan etika publik dan tanggung jawab antargenerasi. Kepemimpinan bukan hanya soal efektivitas administratif atau pertumbuhan ekonomi, tetapi juga soal kemampuan menjaga keberlanjutan sistem kehidupan. Deforestasi mencerminkan ketimpangan rasionalitas kebijakan: akal instrumental digunakan untuk memaksimalkan keuntungan, sementara rasionalitas etis dan ekologis diabaikan.

Jika kecenderungan ini dibiarkan, maka bencana ekologis tidak lagi dapat dipandang sebagai peristiwa luar biasa, melainkan sebagai konsekuensi logis dari desain kebijakan yang cacat. Negara tidak sedang “dikalahkan oleh alam”, melainkan gagal mengelola relasinya dengan alam secara bertanggung jawab.

Pada akhirnya, pertanyaan mendasar yang harus diajukan kepada para pemimpin negara bukan sekadar soal legalitas kebijakan, melainkan soal pertanggungjawaban publik: kepada siapa kekuasaan dijalankan, dan untuk kepentingan siapa risiko ekologis itu dibebankan? Dalam negara demokratis, jawabannya seharusnya jelas—kepada rakyat hari ini dan generasi yang belum lahir.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال