Pekanbaru, KASTV — Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Wartawan Indonesia (DPD GWI) Provinsi Riau, Bowoziduhu Bawamenewi, akrab disapa Bomen, dengan tegas meminta Dewan Pimpinan Pusat (DPP) GWI mencabut Surat Edaran Nomor 023/DPP-GWI/VIII/2025 yang dinilainya melanggar semangat demokrasi internal dan menggerus kewenangan daerah.
Bomen menilai surat edaran itu tidak sejalan dengan AD/ART GWI (7 Desember 2011), bahkan dapat menimbulkan kegaduhan baru antara DPP, DPD, dan DPC di seluruh Indonesia.
“Tidak ada aturan di atas aturan. Aturan tertinggi dalam organisasi adalah musyawarah dan mufakat bersama, bukan keputusan sepihak,” tegas Bomen, Minggu (9/11/2025) di Pekanbaru.
Menjaga Kemerdekaan Organisasi
Menurut jurnalis senior yang aktif sejak 1999 itu, GWI dibangun atas dasar kemerdekaan pers dan semangat kebersamaan. Ia menilai, bila surat edaran tersebut diterbitkan karena “kepentingan tertentu”, maka sama saja membatasi peran Ketua DPD di daerah.
“DPP boleh mengeluarkan surat edaran, tapi harus sesuai AD/ART. Kalau ada unsur kepentingan pribadi yang menghambat kerja daerah, itu jelas keliru,” ujarnya.
Selama ini, DPP menjalankan fungsi menerbitkan SK DPD, sedangkan DPD mengesahkan SK DPC, semuanya dalam satu komando yang tertib dan sistematis.
Jejak Panjang Perjuangan
Bomen mengingatkan, perjalanan GWI tidaklah mudah. Ia sudah terlibat sejak organisasi ini masih bernama GAWANI (Gabungan Wartawan Nasional Indonesia) tahun 2001, sebelum berganti nama menjadi GWI pada 2006 di bawah pendiri Fowa’a Hia, SH, MH (alm.).
Ia juga menyebut pernah menghadapi masa-masa sulit ketika sejumlah pihak mengklaim diri sebagai Ketua Umum GWI, mulai dari Jerry Martin, Suparman Daeli, hingga Moris Taosisi Giawa. Namun, Bomen tetap bertahan dengan cara elegan: melawan lewat tulisan dan pemberitaan.
“Saya hanya mempertahankan GWI melalui karya jurnalistik. Satu per satu yang mengklaim Ketum akhirnya gugur,” kenangnya.
Kritik Keras untuk DPP
Dalam pernyataannya, Bomen juga menyoroti sejumlah persoalan internal yang mencerminkan ketidaktertiban manajemen DPP, seperti perbedaan warna seragam GWI, hingga biaya KTA yang tidak lagi proporsional antara pusat dan daerah.
“Setiap organisasi profesional hanya punya satu warna seragam, satu komando. Kalau warnanya macam-macam, masyarakat bisa menilai kita tidak solid,” ungkapnya.
Ia menegaskan, DPP seharusnya menjadi perekat, bukan sumber konflik. Bila terjadi gejolak di daerah, DPP wajib hadir memberi solusi, bukan membiarkan masalah berlarut.
Seruan untuk Musyawarah Besar
Bomen menegaskan bahwa jalan terbaik untuk mengatasi persoalan internal adalah melalui Musyawarah, Rakerda, atau Rapat Besar Nasional agar semua keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama.
“Kalau ingin GWI besar dan profesional, lakukan rapat bersama, buat peraturan organisasi yang jelas, tandatangani fakta integritas. Itu baru hebat dan bermutu,” pungkasnya. (Azir)