Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, Biaya Bengkak hingga Rp117 Triliun

Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, Biaya Bengkak hingga Rp117 Triliun

JAKARTA — Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) kembali disorot. Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai proyek sepanjang 142,3 kilometer itu sejak awal penuh kejanggalan dan sarat dugaan praktik korupsi.

“Lucu kalau KPK masih meminta masyarakat melaporkan dugaan korupsi, padahal indikasinya sudah terang-benderang. Ini menunjukkan lemahnya kompetensi pimpinan KPK saat ini,” kata Managing Director PEPS, Anthony Budiawan, Senin (20/10/2025).

Anthony menjelaskan, indikasi pertama terletak pada dugaan mark up biaya proyek. Awalnya, China menawarkan nilai investasi sebesar US$5,5 miliar, namun kemudian meningkat menjadi US$6,02 miliar atau sekitar US$41,96 juta per kilometer.

Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding proyek sejenis di China, yang rata-rata berkisar US$17–30 juta per kilometer. Sebagai perbandingan, proyek kereta cepat Shanghai–Hangzhou sepanjang 154 km dengan kecepatan 350 km/jam hanya menelan biaya US$22,93 juta per km.

“Biaya KCJB lebih mahal sekitar US$19 juta per km, atau selisih total hampir US$2,7 miliar. Ini jelas indikasi markup yang kasar,” ujarnya.

Menurut Anthony, proses evaluasi proyek terindikasi tidak profesional dan berpihak pada pihak tertentu. Ia juga menyoroti keikutsertaan Jepang yang hanya dijadikan “pendamping” formal dalam proses tender.

Penawaran Jepang sempat digugurkan karena meminta jaminan APBN, sementara China tidak. “Namun kini terbukti, proyek yang disebut business-to-business itu justru menggunakan dana APBN untuk menutupi utang,” katanya.

Dugaan kedua terkait komponen bunga pinjaman. Anthony memaparkan, baik Jepang maupun China menawarkan pembiayaan 75 persen dari nilai proyek dengan tenor 50 tahun dan masa tenggang 10 tahun.

Namun, bunga pinjaman China mencapai 2 persen per tahun, jauh lebih tinggi dari tawaran Jepang sebesar 0,1 persen per tahun. Dengan nilai proyek US$6 miliar, bunga pinjaman China mencapai US$90 juta per tahun, atau sekitar Rp1,47 triliun.

“Dalam 10 tahun masa tenggang, bunga pinjaman China bisa mencapai US$900 juta, sedangkan Jepang hanya US$45 juta. Jika dimasukkan dalam perhitungan finansial, penawaran China sebenarnya jauh lebih mahal,” jelasnya.

Ia menduga ada manipulasi dalam evaluasi proyek sehingga penawaran China bisa memenangkan tender.

 “Mengabaikan komponen bunga adalah pelanggaran serius dalam proyek publik, dan termasuk kategori tindak pidana,” tegas Anthony.

Selain itu, proyek KCJB juga mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar, sehingga total nilai proyek meningkat menjadi US$7,22 miliar atau sekitar US$50,5 juta per km.

“Dalam proyek infrastruktur, skema turnkey berarti kontraktor menanggung seluruh risiko biaya. Tapi anehnya, kenaikan ini justru dibebankan ke proyek,” ungkapnya.

Dari pembengkakan tersebut, sekitar US$900 juta dibiayai dengan pinjaman berbunga 3,4 persen per tahun. Akibatnya, total bunga pinjaman proyek mencapai US$120,6 juta per tahun, atau sekitar Rp1,97 triliun.

“Bandingkan dengan bunga pinjaman Jepang yang hanya Rp75 miliar per tahun. Perbedaannya luar biasa besar,” kata Anthony.

Anthony menegaskan, seluruh data tersebut menjadi dasar kuat bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera melakukan penyelidikan.

“KPK jangan berkelit lagi. Dugaan markup dan pelanggaran dalam proses pengadaan sudah sangat jelas. Rakyat menunggu tindakan nyata,” pungkasnya.
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال