Opini oleh- Muslm Arbi- Direktur Gerakan Perubahan
Isu praktek korupsi dibalik penerbitan ijin usaha pertambangan atau IUP PT.Karya Wijaya yang dilontarkan AbduRahim Fabanyo, Direktur Malut Institute semakin terang.
AbduRahim kepada media ini sebelumnya menenggarai penerbitan IUP perusahan milik Sherly Tjoanda, Gubernur Maluku Utara itu sarat kejanggalan sehingga dugaan kongkalikong dibalik penerbitan IUP PT Karya Wijaya sangat kentara.
“Kalau ada yang tak beres terkait syarat-syarat yang tidak terpenuhi maka kuat dugaan ada praktek korupsi atau suap dibaliknya”ujar AbduRahim Fabanyo.
Muslim Arbi, Ketua TPUA memdesak Kejaksaan Agung dan KPK segera mengusut dugaan kasus korupsi ini.
“KPK atau Kejagung segera seret Sherly Tjoanda ke proses hukum, dugaan korupsi semakin terang mau tunggu apa lagi”tukas dia.
Desakan serupa dalam bentuk tuntutan pencabutan IUP PT.Karya Wijaya disuarkan komponen lainya.
Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Marhaenis (DPD GPM) Maluku Utara (Malut), kembali mendesak kepada inspektur tambang dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Malut, untuk mengeluarkan rekomendasi pemberhentian aktifitas pertambangan PT. Karya Wijaya (KW), yang saat ini beroperasi di wilayah Pulau Gebe Halmahera Tengah (Halteng).
Ketua DPD GPM Malut, Sartono Halek, kepada media ini Senin (29/9), menyebut bahwa perusahan dengan luas wilayah konsesi 500 H ini, diduga kuat tidak memiliki dokumen izin yang lengkap. Namun anehnya pada tahun 2025 luas wilayah perusahan tersebut, oleh pemerintah kemudian diperluas menjadi 1.145 H.
“Miris sekali pemerintah kita saat ini, dimana perusahan, yang diduga tidak memiliki dokumen izin yang lengkap, tapi dengan entengnya mereka mengijinkan perluasan wilayah, dimana sebelumnya 500 H diperluas hingga 1.145 Hektar, yang mana wilayah operasinya meliputi Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, dengan izin berlaku hingga 2036,” pungkas Bung Tono sapaan akrab Sartono Halek.
Lanjut Bung Tono, PT. KW ini juga diduga kuat belum menyampaikan kewajiban tata batas area kerja, yang menjadi satu syarat keharusan perusahan tambang pemegang izin usaha, dimana ini wajib disampaikan ke kementrian ESDM, untuk dilakukan proses Penyelesaian Administrasi Kehutanan (PAK).
“Dengan demikian maka PT. KW diduga melakukan aktifitas atau pembukaan tambang diluar dari batas area kerja, berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang saat ini ditangani oleh Satuan tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PHK),” ujar Bung Tono.
Selain itu kata, Bung Tono, perusahan tersebut juga saat ini masih berkonflik, maslah IUP dengan perusahan tambang PT. Fajar Bakti Lintas Nusantara (FLBN), yang mana diketuai IUP tersebut sebelumnya dimiliki oleh PT. FLBN. Namun dicabut oleh pihak ESDM, akan tetapi PT. FBLN mengajukan banding di pengadilan dan menang.
“Putusan pengadilan ini dapat membuktikan bahwa IUP, yang kemudian dikantongi PT. KW saat ini belum jelas, sehingga pihak Inspektur tambang dan Pemprov Malut, perlu mengeluarkan rekomendasi ke pihak ESDM, untuk mencabut IUP PT. KW yang diduga bermasalah ini, dan bila perlu menghentikan operasi pertambangan, yang dilakukan PT. KW saat ini,” tegas Bung Tono.
Lebih lanjut, Bung Tono, menyampaikan bahwa hal yang sama juga pernah di jelaskan oleh Dirjen Panologi Kementrian Kehutanan (Kemenhut) RI, yang juga merupakan anggota Satgas PKH, saat melakukan kunjungan kerja bersama komisi IV DPR RI, di Malut saat itulah.
“Jadi persoalan ini juga pernah disampaikan Dirjen Panologi Kemenhut RI, dalam agenda diskusi bersama kepala daerah dan sejumlah pemegang izin usaha, saat kunjungan kerja di Provinsi Maluku Utara waktu itu,” ungkap Bung Tono.
Bung Tono, menambahkan selain permasalahan tersebut diatas PT. KW juga diduga kuat melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor: 1 tahun 2014, atas perubahan UU Nomor: 27 tahun 2007, yang melarang penambangan di pulau-pulau kecil.
“Larangan ini kemudian di tegaskan dalam pasal 35 huruf K UU PWP3K, yang menyatakan setiap orang dilarang melakukan penambangan mineral, jika menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran, dan atau merugikan masyarakat. Penegasan ini juga telah di perkuat, dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 35/PUU-XXI/2023, yang menegaskan perlunya perlindungan pulau-pulau kecil, dari kerusakan yang tidak dapat di pulihkan dan kerusakan terhadap keberlanjutan sumberdaya alam,” beber Bung Tono.
Bung Tono, juga menjelaskan bahwa perusahan dengan kepemilikan saham mayoritas oleh Gubernur Malut, Sherly Tjoanda ini, juga diduga kuat belum menyetorkan kewajiban dana reklamasi pasca tambang, yang menjadi sala satu syarat penting dalam pelaksanaan izin tambang.
“Olehnya itu DPD GPM Malut secara kelembagaan, berencana akan melakukan aksi demontrasi dalam waktu dekat, guna mempressure persoalan ini hingga perusahan tersebut dapat dicabut IUP-nya, dikarenakan hal ini merupakan suatu tindakan pelanggaran berarti serta ilegal, yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” tutup Bung Tono.