Tel Aviv – Pasar saham Israel melanjutkan tren penurunan tajam selama lima hari beruntun. Pelemahan ini terjadi di tengah intensitas serangan militer Israel ke Gaza yang semakin memicu kegelisahan investor. Bloomberg melaporkan pada Selasa (16/9/2025), indeks Tel Aviv 35 (TA-35) sempat jatuh 2,3 persen—terburuk di pasar global—sebelum akhirnya ditutup melemah 0,2 persen.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan bursa global yang justru menguat karena ekspektasi pelonggaran kebijakan The Fed. Dari 35 emiten besar di TA-35, sebanyak 31 tercatat melemah. Dua perusahaan raksasa, Teva Pharmaceutical Industries Ltd. dan Mizrahi Tefahot Bank Ltd., menyumbang 37 persen dari penurunan indeks.
Sebelum perang di Gaza kian memanas, pasar Israel sempat menunjukkan performa positif. Indeks TA-35 naik 26 persen hingga 9 September 2025. Namun optimisme itu runtuh ketika konflik kembali berkobar dan serangan besar-besaran ke Kota Gaza menambah ketidakpastian.
Isolasi internasional semakin terasa. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Senin (15/9) mengakui tekanan yang kian berat, sembari menyerukan kemandirian ekonomi meski harus menghadapi sanksi.
“Perang tanpa akhir menimbulkan biaya besar—dari hilangnya pertumbuhan, kaburnya talenta, rusaknya hubungan internasional, polarisasi politik, hingga keamanan yang tetap rapuh. Semua ini menekan aset Israel,” kata Hasnain Malik, analis strategi di Tellimer, Dubai, kepada Bloomberg. Ia menilai retorika Netanyahu soal “ekonomi ala Sparta” justru menambah kekhawatiran pasar.
Forum Bisnis Israel, yang mewakili pekerja dari 200 perusahaan terbesar, menyebut arah kebijakan Netanyahu menyeret negara ke jurang “kemerosotan ekonomi dan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
“Kami bukan Sparta. Visi ini justru akan menyulitkan keberlangsungan hidup di dunia global,” demikian pernyataan forum itu. Mereka menambahkan, “Ekonomi Israel memang tangguh menghadapi guncangan, tetapi ketahanan itu ada batasnya.”
Mereka mendesak pemerintah segera mengubah haluan agar krisis tidak semakin dalam.
Sejak operasi militer Israel ke Gaza dimulai pada Oktober 2023, hampir 65 ribu warga Palestina tewas, lebih dari 164 ribu terluka, dan mayoritas terpaksa mengungsi. Infrastruktur luluh lantak, dengan tingkat kehancuran yang oleh pengamat disebut terburuk sejak Perang Dunia II. Ribuan lainnya masih hilang.