Oleh: Ikhlas XGRD
Sulawesi Tenggara seolah menjadi panggung pembuktian: apakah kekuasaan benar-benar dibangun untuk rakyat kecil, atau hanya jadi perpanjangan tangan elite yang gemar menata tanpa empati?
Gubernur Sultra yang baru saja dilantik yang juga kader Partai Gerindra — menunjukkan langkah pertamanya di panggung kekuasaan dengan menggusur para pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Bundaran Kantor Gubernur. Ratusan pedagang yang bertahun-tahun menggantungkan hidup di sana dilarang menjual begitu saja, tanpa relokasi, tanpa solusi, tanpa belas kasih.
Apakah ini bentuk kepemimpinan baru yang digembar-gemborkan akan “membela wong cilik”? Apakah ini wajah baru pemerintahan yang katanya lahir dari rahim partai yang menjanjikan keberpihakan pada rakyat kecil?
Prabowo Subianto, Presiden RI sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra, pernah berapi-api berkata:
“Saya hormat pada pedagang kaki lima. Mereka halal, mereka jujur. Mereka pahlawan ekonomi!”
Tapi hari ini, kadernya di Sultra justru menyeret mereka keluar dari tempat usaha, demi pemandangan "rapi dan indah" saat Rakornas. Ironis? Sangat. Bahkan memuakkan. Karena keindahan yang dipaksakan dengan mengorbankan perut rakyat adalah bentuk kekuasaan yang telah kehilangan akarnya.
Jangan salah. Penataan ruang itu penting. Tapi penggusuran tanpa relokasi bukan penataan — itu pengusiran. Dan pengusiran terhadap rakyat kecil, tanpa kejelasan masa depan, adalah bentuk kekejaman sosial yang dibungkus dengan nama “pemerintahan”.
Lalu di mana suara Prabowo?
Apakah beliau tahu apa yang terjadi di Sultra? Atau, apakah suara rakyat kecil kini kalah nyaring dibandingkan ambisi estetik dan prestise birokrasi?
Ini bukan sekadar soal PKL digusur. Ini soal mentalitas kekuasaan. Bila seorang gubernur di awal masa jabatan sudah tega mengorbankan rakyat kecil demi pencitraan, maka rakyat harus waspada dan bersiap: lima tahun ke depan bisa saja lebih gelap dari yang dibayangkan.
Jika Presiden diam, rakyat akan bicara. Jika pemimpin abai, sejarah yang akan mengadili.
Coretan Anak Jalanan