Opini oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Industri gula (kristal putih) untuk konsumsi masyarakat
rumah tangga selalu dalam kondisi defisit. Arti “defisit” di sini adalah jumlah
produksi (dalam negeri) tidak cukup memenuhi jumlah konsumsi masyarakat. Ini
arti kata “defisit” yang benar.
Defisit gula (kristal putih), atau GKP, nasional semakin
lama semakin membesar. Defisit produksi gula tahun 2014 hanya 289.600 ton.
Kemudian defisit naik terus menjadi 429.640 ton pada 2015, 825.380 ton pada
2016, dan 889.800 ton pada 2017. Lihat tabel.
Defisit GKP ini harus dicukupi dari impor. Kalau tidak, maka
akan terjadi krisis gula nasional, akan terjadi kelangkaan gula nasional.
Impor gula kristal putih dapat dilakukan dengan dua cara.
Impor gula jadi (GKP) atau impor gula kristal mentah (GKM) sebagai bahan baku
untuk diolah menjadi gula jadi (GKP) di dalam negeri. Kedua pilihan impor ini
tidak sulit untuk dijawab. Tidak perlu setingkat menteri untuk bisa memilih
apakah Indonesia harus impor GKP atau GKM.
Siswa SMP juga tahu, bahwa impor gula wajib dilakukan dalam
bentuk GKM untuk diolah menjadi GKP. Karena impor gula dalam bentuk gula jadi
atau GKP merugikan perekonomian negara Indonesia.
Pertama, impor GKP menguntungkan produsen dan ekonomi negara
lain (luar negeri). Mereka menikmati keuntungan (nilai tambah) ekonomi dalam
proses produksi pemurnian gula dari GKM menjadi GKP. Total nilai tambah ekonomi
(secara langsung) mencapai paling sedikit 30 persen dari nilai GKM. Nilai
tambah ekonomi akan jauh lebih besar kalau termasuk industri pendukung.
Kedua, impor dalam bentuk GKP membuat pemerintah kehilangan
pendapatan pajak atas keuntungan (nilai tambah) ekonomi tersebut. Pemerintah
kehilangan pajak penghasilan karyawan, pajak penghasilan badan, dan pajak
pertambahan nilai, karena nilai tambah ekonomi dinikmati produsen luar negeri.
Ketiga, impor GKP merugikan devisa negara karena harga GKP
jauh lebih tinggi dari harga GKM. Harga rata-rata GKP di pasar internasional
tahun 2016 mencapai 492,19 dolar AS per ton. Sedangkan harga rata-rata GKM
tahun 2016 hanya 389,12 dolar AS per ton. Dengan jumlah impor GKM sebanyak
1.584.289 ton, nilai impor GKM tahun 2018 hanya 616,47 juta dolar AS. Kalau
impor dilakukan dalam bentuk GKP, maka Indonesia harus mengeluarkan devisa
740,79 juta dolar AS. Artinya, impor GKP akan merugikan devisa negara sebesar
124,32 juta dolar AS, atau setara Rp1,65 triliun.
Oleh karena itu, impor GKP harus dibatasi. Karena merugikan
Indonesia. Pasal 4 Permendag 117/2015 memberi batasan untuk itu: impor GKP,
hanya dapat dilakukan dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan
harga gula (GKP). Di luar dari itu, impor gula wajib dilakukan dalam bentuk
GKM.
Impor gula tahun 2016 jelas dilakukan bukan dalam rangka
kestabilan harga gula, yang ketika itu (Januari 2016) sedang dalam kondisi
sangat stabil bahkan turun.
Nampaknya Jaksa tidak paham dan tidak mampu menilai kondisi
industri gula nasional secara benar dan utuh, khususnya terkait persetujuan
impor GKM yang diberikan Tom Lembong untuk menyelamatkan industri gula nasional
dari krisis dan kelangkaan gula. Bahaya.
Bagaimana dengan hakim? Apakah pengetahuan para hakim akan
lebih rendah dari siswa SMP? Semoga majelis hakim dapat memberi putusan yang
adil dan benar sesuai fakta persidangan.