Konawe Utara – 23 Juni 2025, Aktivitas produksi tambang nikel milik PT Antam di Blok Tapunopaka, Konawe Utara, kembali disorot publik. Hingga pertengahan 2025, perusahaan pelat merah itu dinilai belum menunjukkan transparansi dalam pelaporan produksi khusus dari Tapunopaka, meskipun blok tersebut telah beroperasi sejak 2010 dan sempat melakukan ekspor bijih nikel ke luar negeri.
Dalam berbagai laporan resmi tahunan dan kuartalan PT Antam Tbk, tidak terdapat rincian volume produksi yang secara spesifik berasal dari Tapunopaka. Produksi bijih nikel dilaporkan secara agregat untuk seluruh wilayah operasi Unit Bisnis Pertambangan Nikel (UBPN) Sulawesi Tenggara, tanpa memisahkan kontribusi dari tiap blok strategis. tanpa menyebut kontribusi Blok Tapunopaka secara eksplisit. Publik hanya diberikan data agregat per kategori dan lokasi besar (misalnya “Sultra overall”), bukan per tapak tambang.
> “Ketiadaan pelaporan produksi secara terpisah untuk Tapunopaka sangat mencurigakan. Bagaimana publik bisa tahu berapa ton ore yang benar-benar dihasilkan dan apakah pajak serta PNBP-nya dibayar sesuai?” ujar Robby Anggara, Ketua umum Akademisi Pemerhati Sumber Daya Alam dan Investasi Sultra (APSI SULTRA), Senin (23/6).
Negara berhak atas royalti dan pajak produksi, namun jika data produksi Tapunopaka disembunyikan atau disatukan secara global tanpa rincian blok Mustahil memastikan berapa ton nikel yang diambil dan Sulit mengetahui berapa yang dilaporkan & dibayarkan ke negara.
Sebagai informasi, Blok Tapunopaka pernah menjadi andalan ekspor nikel PT Antam. Pada 2010, ekspor perdana dari Tapunopaka mencapai 50.000 ton bijih nikel basah (wmt), dan di tahun 2019 kembali tercatat ekspor 55.570 wmt ke Tiongkok. Namun, sejak saat itu, nama Tapunopaka nyaris hilang dari laporan publik perusahaan.
Selain itu, pada tahun 2021, DPRD Konawe Utara sempat menghentikan sementara aktivitas tambang Antam di Tapunopaka karena diduga beroperasi dengan IUP yang tidak aktif sejak 2011, serta belum ada pembebasan lahan secara resmi.
> “Kalau benar IUP-nya bermasalah dan produksi tetap berjalan, sementara datanya tidak dilaporkan terpisah, maka ini bisa jadi ruang bagi penyalahgunaan. Negara bisa dirugikan, dan masyarakat sekitar juga,” tambah Robby.
Akademisi Pemerhati Sumber Daya Alam dan Investasi Sultra menilai, minimnya pelaporan spesifik per blok menjadi celah terjadinya praktik "dokumen terbang" — yakni pengangkutan ore menggunakan dokumen dari IUP berbeda dengan lokasi tambang sesungguhnya. Praktik ini sebelumnya diduga terjadi juga di Blok Mandiodo, yang kini telah ditangani Kejaksaan Tinggi Sultra.
Data terbaru mengindikasikan volume ore konsolidasi terus meningkat (13,45 juta wmt tahun 2023; 4,6 juta wmt pada Q1 2025), Namun, pengaruh Blok Tapunopaka terhadap total produksi belum dirinci secara terpisah dalam laporan publik. Hal ini berpotensi merugikan negara dan kas daerah, baik secara langsung maupun sistemik.
Dengan demikian masyarakat mendesak agar PT Antam untuk mempublikasikan secara berkala produksi per blok,
ESDM dan BPK segera melakukan audit khusus terhadap Blok Tapunopaka, masyarakat juga mendesak Ombudsman RI turun tangan menilai aspek maladministrasi dan tata kelola tambang di Antam UBPN Konut.
> “Tapunopaka ini berada di wilayah padat penduduk dan dekat zona sensitif. Tanpa transparansi, sulit bagi masyarakat mengawasi dampak lingkungan, CSR, bahkan potensi konflik lahan,” Tutup Robby.