Polres Garut Mangkir di Sidang Praperadilan, Korban Bacokan Justru Jadi Tersangka

Polres Garut Mangkir di Sidang Praperadilan, Korban Bacokan Justru Jadi Tersangka



Garut – Sidang praperadilan yang diajukan Jajang, warga Garut yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan penganiayaan Pasal 351 KUHP, ditunda oleh Pengadilan Negeri Garut. Penundaan dilakukan setelah pihak Polres Garut tidak menghadiri sidang perdana yang dijadwalkan pada Kamis, 9 Oktober 2025.

Jajang yang sejatinya merupakan korban pembacokan dalam insiden tersebut kini masih dalam kondisi kritis. Ia mengalami luka berat di kepala, pendarahan aktif, serta gangguan pada mata yang membuatnya tak bisa menutup kelopak. Kondisi itu membuat tim kuasa hukumnya mengajukan permohonan penangguhan penahanan demi kepentingan perawatan medis.

“Kami sangat kecewa karena Polres Garut tidak hadir di sidang praperadilan perdana. Ini menunjukkan ketidakseriusan mereka dalam proses hukum,” kata Ardi Subarkah, S.H., kuasa hukum Jajang dari Firma Hukum Man In The Street (MITS), usai sidang yang batal digelar.

Majelis hakim kemudian menunda sidang hingga Rabu, 16 Oktober 2025, dan memerintahkan pemanggilan ulang terhadap pihak Polres Garut. Ketua majelis juga menyatakan akan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Garut untuk mempertimbangkan penangguhan penahanan, mengingat kondisi kesehatan pemohon yang memburuk.

Menurut Ardi, permohonan praperadilan yang didaftarkan pada 24 September 2025 itu dilatarbelakangi sejumlah kejanggalan dalam proses penyidikan. Ia menilai penetapan Jajang sebagai tersangka tidak sah karena tidak didukung minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan ditegaskan dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.

Selain itu, penangkapan terhadap Jajang dilakukan tanpa surat resmi, bahkan ketika ia masih dalam perawatan akibat luka bacok. Berita acara pemeriksaan (BAP) pun disebut cacat formil karena dibuat tanpa pendampingan penasihat hukum.

“Laporan polisi yang dibuat oleh klien kami sebagai korban tidak diproses, sedangkan laporan pihak lawan langsung ditindaklanjuti. Ini jelas bentuk ketidakadilan,” tegas Ardi.

Ia berharap sidang lanjutan pada 16 Oktober mendatang dapat dihadiri oleh pihak Polres Garut agar proses praperadilan berjalan transparan dan objektif. “Kami percaya pengadilan akan menegakkan hukum dengan adil. Korban kekerasan tidak boleh dikriminalisasi. Negara harus menjamin hak atas kesehatan dan keadilan bagi setiap warga,” ujarnya.

Kasus ini menjadi sorotan publik lantaran menyinggung prinsip dasar keadilan dalam sistem peradilan pidana: korban tidak seharusnya berubah status menjadi tersangka tanpa dasar hukum yang kuat. Putusan praperadilan ini dipandang akan menjadi ujian bagi integritas penegakan hukum di Kabupaten Garut serta menjadi preseden penting dalam perlindungan hak-hak tersangka di Indonesia.

Sidang praperadilan ini terdaftar di Pengadilan Negeri Garut dengan Nomor Perkara: 12/Pid.Prap/2025/PN.Grt. Agenda sidang berikutnya dijadwalkan pada 16 Oktober 2025 dengan menghadirkan pihak Polres Garut sebagai termohon.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال