JAKARTA,KASTV - Menurut Muslim Arbi, Direktur Gerakan Perubahan dan anggota Advisory Board MSI, lemahnya penegakan hukum terlihat dari berbagai kasus besar, termasuk dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Whoosh yang menyebabkan kerugian negara hingga puluhan triliun rupiah akibat praktik mark up. Proyek yang awalnya merupakan kerja sama bisnis antara Indonesia dan Tiongkok kemudian berubah menjadi kerja sama antarnegara, yang dianggap sebagai bentuk penyimpangan kebijakan dan merugikan negara.
Kritik juga diarahkan pada pimpinan KPK saat ini, yang dinilai tidak independen karena dianggap memiliki kedekatan politik dengan pemerintahan sebelumnya. Akibatnya, berbagai kasus dugaan korupsi yang melibatkan keluarga mantan Presiden Jokowi, seperti laporan gratifikasi terhadap Gibran dan Kaesang, tidak kunjung ditindaklanjuti.
Sementara itu, Kejaksaan Agung juga disorot karena lamban mengeksekusi sejumlah putusan pengadilan, termasuk kasus Silvester Matutina. Publik menilai hal ini mencederai citra pemerintahan Prabowo dalam penegakan hukum. Selain itu, kasus-kasus lain seperti dugaan korupsi BBM oplosan dan penjualan saham BUMN juga belum menunjukkan kejelasan.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turut menuai kritik karena dinilai gagal menjalankan reformasi kepolisian. Bahkan, keterlibatan langsung Presiden Prabowo dalam kegiatan pemusnahan barang bukti narkoba dianggap mencerminkan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Kapolri.
Muslim Arbi menegaskan, jika Prabowo benar ingin menepati janjinya untuk memburu koruptor “hingga ke Antartika”, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengganti pimpinan KPK, Kapolri, dan Jaksa Agung. Tanpa itu, janji pemberantasan korupsi hanya akan dipandang sebagai retorika kosong dan berpotensi menggerus wibawa Presiden di mata rakyat.
Untuk memperkuat wibawa pemerintahan dan menegakkan keadilan, publik menuntut reformasi menyeluruh terhadap lembaga penegak hukum agar tidak menjadi pelindung bagi kepentingan politik atau kelompok tertentu.
