Jakarta — Direktur Gerakan Perubahan sekaligus Ketua Tim Penyelamat Ulama dan Aktivis (TPUA), Muslim Arbi, menyatakan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka merupakan langkah yang tak terelakkan. Ia menilai kenaikan Gibran ke kursi wapres melanggar konstitusi dan disertai sejumlah persoalan moral serta etika.
Muslim mengungkapkan, selain polemik yang disebutnya terkait kasus “Fufufafa” dan dugaan sikap angkuh, Gibran juga terseret dalam laporan dugaan korupsi yang pernah disampaikan Ubedilah Badrun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menilai, bila KPK bekerja sesuai undang-undang, Gibran dan adiknya, Kaesang Pangarep, dapat dijerat dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Insiden di Batujajar, Bandung, beberapa hari lalu turut menjadi sorotan Muslim. Dalam acara tersebut, Gibran terlihat tidak bersalaman dengan sejumlah menteri koordinator yang juga ketua umum partai, seperti Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat), Zulkifli Hasan (PAN), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Bahlil Lahadalia (Golkar). Muslim menilai sikap itu menunjukkan keangkuhan dan cacat etika di ruang publik.
Muslim juga mengingatkan bahwa surat pemakzulan yang sebelumnya dilayangkan sejumlah purnawirawan TNI ke DPR seharusnya segera diproses. Menurutnya, partai-partai politik yang merasa pemimpinnya dilecehkan dapat menggalang kekuatan untuk mempercepat proses tersebut di DPR dan MPR.
Ia memprediksi, jika PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PAN, dan Demokrat bersatu, maka nasib Gibran di kursi wapres akan segera berakhir. “Itu sekaligus mengakhiri dinasti politik Presiden Joko Widodo yang telah membelenggu Indonesia selama sepuluh tahun,” ujarnya.
Muslim menegaskan bahwa naiknya Gibran ke jabatan wakil presiden tak lepas dari dukungan oligarki politik dan ekonomi, yang menurutnya merugikan demokrasi dan mencederai bangsa.