![]() |
Foto sumber: https://civitasbook.com/ |
Dikisahkan oleh Nurman Diah
Bung Karno bangkit, melonjak dari duduknya, mengangkat tangannya, yang kiri memegang batang leher yang kanan digerak-gerakkannya, seakan menyembelih, diiringi suara segegap halilintar:
“Biar digorok leherku, aku tidak akan memproklamirkan kemerdekaan malam ini …besok atau kapan saja …kamu jangan coba coba mengancam aku, ya.”
Bung Karno (BK) menyembur Wikana, tokoh pemuda yang mengancam bahwa pemuda dan rakyat akan berontak jika Bung Karno tidak proklamirkan kemerdekaan saat itu juga, demikian tulis BM Diah, sesama pimpinan pemuda yang hadir, mengenang kejadian yang menegangkan di bulan Agustus tanggal 15 larut malam tahun 1945 dalam catatannya pada buku Angkatan Baru’45 (buku ini dalam proses cetak ulang).
Suara BK terdengar sampai ke beranda belakang di mana isterinya, Fatmawati, sedang mengurus Guntur, puteranya. Dia pun bangkit, kemudian menggendong Guntur yang masih kecil, jalan menuju arah suara suaminya, berhenti di balik pintu dan mengintip keluar ke beranda muka yang terbuka di sebuah rumah jalan Pegangsaan Timur. Fatma agaknya kuatir suatu akan terjadi dengan suaminya.
Di beranda itu sedang berlangsung “perundingan” yang kemudian nyaris menjadi debat kusir antara golongan pemuda yang dijurubicarai Wikana dengan golongan tua - Bung Karno, Bung Hatta dan Mr Soebardjo. Bung Karno tidak hendak memulai perundingan sebelum hadirnya Bung Hatta yang datang belakangan. Waktu hampir menunjukkan pukul 10.00 malam.
Belum sempat duduk, begitu dia menunjukkan mukanya, Bung Hatta, yang melihat para pemuda berkumpul di hadapan Bung Karno, langsung bertanya secara lakonik: “Ini pemuda mau apa lagi…?” Disambut Bung Karno: “Pemuda- pemuda apa sudah persiapkan rakyat untuk revolusi?”
“Hayo duduk, duduk, ”seru Bung Karno yang sudah duduk terlebih dahulu. Semua pun duduk. Mr Soebardjo dan Bung Hatta, mendampingi Bung Karno, duduk di kanan dan kiri. Terlihat sikap Bung Karno dan Bung Hatta yang paternalis menganggap pemuda-pemuda masih belum dewasa walau ketika itu usia rata rata pimpinan pemuda adalah 27-28 tahun.
BM Diah bercerita lebih lanjut. Wikana mulai dengan pembicaraan, menyambut pertanyaan Bung Karno mengenai maksud pertemuan itu. Diah sendiri tidak juga tahu apa maksudnya, sebelum kemudian dibisikkan padanya apa yang ada dalam rencana pemuda.
Malam semakin larut. Waktu menunjukkan lewat jam 10.00 malam.
“Bung,” kata Wikana, “kami diutus oleh pemuda dan rakyat untuk meminta kepada Bung Karno supaya menentukan sikap sekarang. Bung tahu, Jepang sudah kalah dan minta damai.
Juga sudah menyerah tanpa syarat pada Sekutu,” dia melanjut dengan suara yang mengesankan.
Tanggal 6 Agustus (1945) kota Hiroshima dibom dengan sebuah bom yang mengeluarkan sinar yang tajam sekali dan membinasakan sekaligus beratus ribu penduduk. Juga gedung gedung hancur dan terbakar. Tiga hari kemudian tanggal 9 Agustus Nagasaki dibom.
“Jepang sudah meminta damai,” Nishijima pegawai sipil, anggota rahasia AL Jepang bercerita pada BM Diah selepas pembebasannya di pagi hari 15 Agustus 1945 itu dari tahanan Jepang. Nishijima dan seorang Jepang lainnya bernama Ichiki, juga pegawai sipil Belantentera Jepang telah membantu pelepasan Diah dari tahanan atas permintaan keluarga istri, Herawati, yaitu paman-nya Mr Soebardjo dan ipar Mr Sudjono.
“Saya juga sudah tahu ,”jawab Bung Karno, “saya sudah mendengar sendiri dari somubuchoo, Jenderal Nishimura. Dia meminta ke pada saya supaya menjaga ketenangan.” Sebelumnya Bung Karno tidak diberitahu Jepang menghadapi kekalahan ketika berada di Dalat, dekat Saigon, untuk bertemu dengan Jenderal Terauchi, Panglima Perang Jepang untuk wilayah Asia Tenggara pada tanggal 11 Agustus 1945.
Bung Karno pun berdiam sebentar. “Saya minta karena itu ke pada saudara- saudara supaya juga tenang, menunggu perintah- perintah saya.”
Pertemuan yang tadinya dimaksudkan untuk meminta para golongan tua mengambil sikap dengan kekalahan Jepang, yang sudah disiarkan Sekutu, berubah menjadi debat dengan suhu yang semakin meninggi.
Wikana langsung berdiri mendengar jawaban Bung Karno. Dengan suara nyaring dia berkata: “Apakah Bung mau suruh kami tunggu? Apalagi yang mau ditunggu. Ini sudah waktunya….” Para pemuda tidak sudi bangsa Indonesia dijadikan inventaris untuk diserahkan oleh Jepang kembali pada Belanda. Sekutu telah meminta Jepang menjaga status quo.
Bung Karno balik membalas: “Kita harus menunggu dan jangan mengorbankan rakyat percuma.”
Bung Hatta menyetujui sikap Bung Karno dan bertanya: “Apakah saudara saudara siap betul-betul untuk melancarkan revolusi? Kalau gagal bagaimana. Bukankah rakyat nanti yang menjadi korban?”
“Rakyat siap berontak. Pemuda-pemuda akan pimpin pemberontakan rakyat ini,” Wikana membalas dengan suara mendongkol. Singkapnya membayangkan kepercayaan akan kekuatan sendiri, kekuatan pemuda, kekuatan rakyat. Ini senantiasa menjadi pertentangan antara muda dan tua. Dalam keadaan seperti ini, Wikana menjadi romantikawan yang bergairah.
Setiap kali berbicara dia mengatakan, pemuda dan rakyat, buruh dan tani, mahasiswa dan pelajar hanya menunggu komando saja untuk memulai revolusi. Dia gambarkan pemuda siap aksi. Gelisah, tidak sabar lagi. Tetapi yang diajak enggan bergerak.
Komando untuk bergerak, yang diharapkan Wikana dan para pemuda, tidak kunjung datang. Sebabnya terletak pada persepsi masing masing golongan dalam menilai situasi dan kondisi saat itu.
Usai Wikana mencoba meyakinkan pemimpin pemimpin tua itu, suasana di ruang itu, dengan cahaya lampu yang rada rada redup, terasa sesak.”Saya sendiri serasa di kamar yang kekurangan oksigen,” tulis Diah.
Pemuda sudah melemparkan dadunya di meja.
Dalam keheningan menyesakkan itu yang berlalu tidak lama, tiba tiba Mr Soebardjo bersuara: “Setiap perjuangan harus diperhitungkan untung ruginya, pada ketika debu telah menetap. Kami percaya pada kekuatan pemuda, serta kerelaan berkorban. Juga kami dulu berani mengorbankan diri mencapai tujuan. Tetapi sekarang. Apakah kita memiliki cukup senjata? Sudah mampukah kita?”
Di antara para pemuda ada yang menjawab dengan apa saja kita bisa berjuang. Pakai golok, bambu runcing, pakai senjata senjata yang diserahkan Jepang atau yang akan dirampas.
Bung Karno tidak tertarik. Tidak terpengaruh, terpesona atau terpukau mendengar uraian kami, pemuda, demikian BM Diah mencatat. “Saya tidak hadir sebelumnya dalam pembicaraan di antara kawan kawan saya tentang tindakan apa yang harus diambil dengan situasi baru ini.
Saya absen (dalam tahanan Jepang) selama itu. Saya tercengang melihat drama yang terjadi di depan saya, dan tidak ikut bicara mula mula. Tetapi saya rasakan bahwa kawan kawan saya tidak memajukan suatu usul yang konkrit dalam pembicaraan itu. Bagaimana memformulasikan suatu sikap untuk menggerakkan aksi-aksi kemudian. Situasi revolusioner sudah ada. Pemimpin-pemimpin sudah siap. Rakyat bisa digerakkan. Pemimpin pemimpin tua juga sudah memahami keadaan. Tetapi, semua belum dapat memformulir suatu sikap, sesuatu tindakan aksi. Saya terjun dalam pembicaraan.”
BM Diah : “Bung Karno. Bung sebagai pemimpin kami, pemimpin rakyat harus mengambil suatu sikap tegas. Bung Karno harus memproklamirkan kemerdekaan, kemerdekaan bangsa Indonesia. Kami pemuda siap. Tetapi kami tidak akan sanggup sendiri memproklamirkan kemerdekaan. Bung Karno dan Bung Hatta adalah pemimpin rakyat seluruhnya. Hanyalah bung keduanya yang dapat dipercayai dan diikuti oleh rakyat. Kami akan menjadi perisai rakyat dan menurut perintah Bung Karno dan Bung Hatta.”
Fikiran itu bukan baru, menurut Diah. Dia dan kawan-kawan, seperti Sukarni, Chairul Saleh, Wikana, selagi mempersiapkan organisasi Angkatan Baru’45 dan aksi-aksinya, senantiasa muncul idée tentang “proklamasi”. Tapi mereka pun bertanya-tanya dan saling pandang, satu dengan yang lain, ’apa yang harus dilakukan?’ Apabila, dalam kesungguhan berfikir mereka, apa yang ada dalam benak masing masing, ternyata terhalang oleh para pemimpin rakyat yang tidak sedia melaksanakan “proklamasi” kemerdekaan, walau pun sangat diharapkan.
“Belum habis saya berkata, saya melihat Wikana menggerakkan tangannya yang tadinya ada dalam sakunya, dan seakan akan menuding Bung Karno,” BM Diah meneruskan ceritanya.
“Kalau Bung tidak proklamirkan kemerdekaan sekarang juga atau sekurang-kurangnya besok pagi, pemuda dan rakyat akan berontak. Kami tidak tanggung jawab apa yang terjadi…pemuda akan membinasakan siapa yang akan menghalangi perjuangan mereka….”, dia berkata hampir berteriak.
Reaksi Bung Karno terhadap ancaman ini tentu sangat tidak diduga, mengejutkan, apalagi dia mengancam balik “tidak akan pernah” memproklamirkan kemerdekaan.
BM Diah menulis lebih lanjut: “ Fatmawati saja terkejut. Juga kami semua tergugah. Rupanya akan gagal perjuangan pemuda menarik Soekarno dalam revolusinya. Harapan untuk memproklamirkan kemerdekaan oleh Bung Karno gagal. Siapa lagi yang dapat diminta? Tiada seorang pun begitu berpengaruh secara nasional dan internasional daripada orang ini. Hampir kami putus asa.”
Bahwa jika pemimpin rakyat (Soekarno-Hatta) tidak bersedia memproklamirkan kemerdekaan, ‘siapa lagi yang akan diminta?’, sudah ada dalam bayangan para pimpinan pemuda, tapi opsi lain tetap saja tidak tersedia. Sjahrir, yang juga sering disebut sebut ketika itu sebagai tokoh nasional, tidak pernah simpatik dengan sepak terjang Soekarno-Hatta yang mau bekerja sama dengan Jepang. Malah Sjahrir sangat suka menjuluki Soekarno-Hatta sebagai koloborator Jepang.
Dia berfikiran Barat, seorang sosialis demokrat. Dia lebih cenderung menunggu kedatangan Sekutu dan berunding dengan mereka untuk kemerdekaan. Tan Malaka, seorang revolusioner, nasionalis kiri, lebih suka bergerak, bergerilya di bawah tanah.
“Apakah Sukarni, Chairul, Wikana atau siapa pun dapat bertindak atas nama rakyat Indonesia saat itu,” Diah mencoba mengenang. “Sukarno dan Sukarni memang berbeda huruf akhir pada namanya. Tetapi dalam wibawa, pengaruh dan karisma dan lain-lain tentulah perbedaan itu tidak serupa antara huruf o dan i. Bahkan mereka berbeda seperti langit dan bumi. Keyakinan saya bahwa hanya Sukarno dan Hatta yang dapat memproklamasikan kemerdekaan kita saya peluk secara tekun, konsekwen sampai pagi 17 Agustus 1945.”
Setelah semua yakin atas ancaman Bung Karno maka para hadirin berangsur angsur meninggalkan pertemuan, demikian tulis Diah. “Saya kembali ke rumah, karena merasa penat dengan bermukim beberapa hari di penjara dan kemudian sehari suntuk aktif lagi dalam perjuangan. Juga kawan-kawan lain berjalan sendiri dengan fikiran masing masing.
Tetapi Wikana yang diutus pemuda Menteng 31 akan melaporkan apa yang terjadi malam itu di Pegangsaan Timur 56.”
Menjelang perpindahan hari ke 16 Agustus 1945, tersiar berita di antara pemuda, Bung Karno dan Bung Hatta, telah diculik dan diangkut oleh pimpinan mereka ke Rengasdengklok. Begitu solid tekad para pemuda revolusioner menginginkan kemerdekaan Tanah Air-nya diproklamasikan oleh pemimpin mereka Soekarno-Hatta, sekarang dan sekarang juga, di manapun itu perlu dilakukan. Peristiwa Rengasdengklok ternyata juga hanya sebuah jembatan antara bukan tujuan akhir.
Proklamasi Kemerdekaan akhirnya dilakukan juga di tempat Jalan Pengangsaan Timur 56, yang 36 jam lalu, Soekarno menolak untuk dipaksa pemuda melakukannya. Betul-betul sebuah ironi sejarah. Atau mungkin juga sudah takdir.(*)